TIARA (Tentang Impian Asa & Rasa)
“Ibu!”
teriak Ani putriku
sembari memeluk diriku
dari belakang. Kutengok
wajah polos putriku
yang terlihat ceria
meski ada sedikit
bayang letih setelah
selesai bermain-main dengan
teman-teman sebayanya.
Setiap
sore selesai belajar
mengaji di surau
sederhana ini memang
putriku tak langsung
mau pulang ke
rumah dulu. Selepas
mengaji ia langsung
pergi bermain dengan
teman-temannya. Tak peduli
tiap hari aku
selalu menyuruhnya untuk
pulang terlebih dahulu
untuk sekedar menganti
baju untuk bermain.
Meskipun
begitu tetap saja
aku tak bisa
marah terhadap putriku.
Walau aku tahu
dengan pasti tiap
kali ia pulang
bermain maka baju
muslimah yang ia
pakai untuk mengaji
akan kotor disana-sini.
Lagipula aku akan
selalu mencucinya pula.
Setelah
puas ia bergelayut
di pundakku, barulah
ia kusuruh melepas
pakaiannya untuk kemudian
kumandikan. Meski baru
kelas 3 SD,
tapi putriku telah
pandai membaca Al Quran.
Memang dari sebelum
ia masuk sekolah
pun, aku telah
mengajarinya mengaji. Di
surau sederhana yang
dibangun oleh almarhum
kakekku inilah aku
mengajari putriku belajar
mengaji.
Tak
hanya putriku saja,
ada beberapa anak-anak
yang sebaya dengan
putriku juga ikut belajar
mengaji di surau
sederhana ini. Mulanya
aku pun tak
berniat untuk mengajari
mereka. Tapi belakangan
aku sedang banyak
waktu senggang, sehingga
berdiam di rumah
pun tak kerasan
rasanya.
Awalnya
Fitri, salah seorang
sahabatku yang mengajar
mengaji disini. Beberapa
kali aku mengantarkan
putriku mengaji, karena
memang surau yang
terletak tak begitu
jauhnya dari rumahku.
Berhubung karena beberapa
kali Fitri tak
hadir karena ada
keperluan, aku terpaksa
menggantikan posisinya.
Tentu
saja awalnya aku
canggung karena berarti
aku juga mengajari
putriku sendiri. Bukan
aku tak mau,
hanya saja aku
fikir masih ada
Fitri yang kuanggap
lebih bisa dan
lebih baik dalam
mengajari anak-anak di
desa kami ini.
Tapi
suatu hari ibuku
bilang jika putriku
mengajarinya doa sebelum
tidur sewaktu ibuku
sedang berbaring santai
di kamarnya. Tentu
saja ibuku tersenyum
senang, karena sebenarnya
ibuku sudah tahu
doa tersebut. Tapi
ibuku pura-pura belum tahu, dan tetap
minta diajari doanya
oleh putriku.
Setelah
selesai diajari doa
tersebut oleh putriku,
ibuku pun bertanya
dari siapa putriku
belajar doa tersebut.
Tentu saja putriku
menjawab bahwa akulah
yang mengajarinya. Putriku
juga memberitahu jika
sesekali aku mengantikan
mengajar di surau.
“Sayang
ilmu kamu. 6
tahun mondok di
pesantren masa cuma disimpan
sendiri saja?” begitu
ibu berkata padaku.
Akhirnya
setelah ibu menasihatiku,
juga beberapa kali
ajakan dari Fitri,
maka resmilah aku
menjadi pengajar di
surau ini. Lagipula
Fitri memang selama
ini hanya sendiri mengajar di
surau ini. Sejak
itu mulailah hari-hariku
diisi dengan kegiatan
mengajar anak-anak belajar
mengaji.
Setelah
selesai memandikan putriku
dan mengganti pakaiannya
dengan yang baru,
kusisir rambutnya yang
panjang terurai. Tercium
aroma wangi dari
sana, khas anak-anak
yang memang belum
terjamah kotoran dosa.
Kutemani
putriku bermain lagi
di halaman depan
rumah kami yang
memang cukup luas.
Sudah ada beberapa
temannya yang datang
untuk mengajaknya bermain
lagi. Tak ku
hirau bila ia
berkotor-kotor lagi, tentu
bila tak disengaja
pula. Ku biarkan
ia bermain sepuas
hatinya bersama teman-temannya.
“Jangan
bengong, nanti ada
yang lewat tuh....”
sebuah suara membuatku
menolehkan pandanganku ke
sumbernya. Seorang pria
yang cukup tinggi,
lebih tinggi dariku
tentu saja, berdiri
gagah bersama Fitri
yang datang bersama
Nisa, putrinya yang
baru berumur 5
tahun.
“Masih
ingat aku?” tanya sang
pria. Potongan rambutnya
tercukur cukup pendek
dan rapi pula.
Tak ada kumis
diatas bibirnya yang
selalu tersenyum. Sedikit
janggut rupanya ia
biarkan tumbuh dibawah
dagunya dengan bentuk
rahang yang nyaris
berbentuk kokoh.
“Tentu
saja” sahutku sembari
membalas senyumnya.
“Gimana
kabar kamu?” tanyanya.
Tak ada uluran
tangan untuk bersalaman
diantara kami. Kuyakin
ia pun tahu
menyentuh seseorang yang
bukan muhrimnya ialah
dosa, walaupun sekedar
bersalaman saja, karena
aku juga tahu
ia pernah mondok
juga sepertiku hanya
saja berbeda pesantren.
Kulayangkan ekor
mataku ke arah
Fitri. Fitri langsung
menangkap maksudku, Fitripun
duduk disampingku. Sang
pria tetap berdiri
tegap.
“Baik”
jawabku kemudian.
“Kamu?”
kubalas tanya padanya.
“Masih
sama seperti yang
dulu” balasnya dengan
tetap tersenyum.
Kupandang
Fitri dengan pandangan
penuh tanya. Fitri
pura-pura tak melihatku
dan sibuk bercengkerama
dengan putrinya.
“Aku
mau mampir sekalian
pengen tahu kabar
kalian” seakan-akan tahu
bahwa aku sedang
bingung sang pria
berkata.
“Juga
sekalian ingin minta
kesempatan kedua” Fitri ikut bersuara.
Kurasakan
keningku berkerut.
“Aku
sudah menunggu selama
11 tahun. Kurasa itu
sudah cukup sebagai
hukuman. Beri aku
kesempatan lagi kumohon”
pintanya.
“Ayolah,
lagipula kamu sudah
bercerai pula. Kini
kamu sendiri lagi”
Fitri membantu menyerangku
tepat di sasaran.
“Kenapa
dulu kamu kabur?”
sergahku kepada sang
pria.
“Waktu
itu aku masih
anak-anak” elak sang
pria.
“Aku
juga” balasku langsung.
“Aku
mohon maaf” sang
pria berkata lagi
setelah hening beberapa
saat.
“Aku
mohon maaf atas
kebodohanku waktu itu.
Tapi aku terpaksa
melakukannya. Tak ada sedikitpun niat
hatiku untuk melukai
hatimu” ia menjelaskan.
“Aku
juga sudah pernah
cerita kan?” Fitri
berkata lagi.
“Apa
yang harus kulakukan?”
entah pada siapa
aku bertanya.
Sang
pria tiba-tiba menjatuhkan
dirinya dan berlutut
dihadapanku.
“Bangun!”
terkejut aku berteriak.
“Kamu
mau apa?” tanyaku.
“Aku
ingin menikahimu” enteng
jawabnya.
“Bangun
dulu dong kamunya”
kataku menyuruhnya.
Ia
tetap saja berlutut.
Kulirik Fitri lagi.
Fitri hanya tersenyum
saja melihat situasi
seperti ini.
“Aku
akan belajar mencari
rumput untuk ternak
orangtua kamu deh. Nanti
minta
diajarin sama ayah
kamu”
“Yang
nyari kayu bakarnya
siapa?” tanyaku.
“Aku
juga bisa nyari
kayu bakar” sahutnya
cepat.
“Hmmm....
gimana ya?” aku
memutar-mutar bola mataku.
“Aku
minta satu syarat” kataku kemudian.
“Apapun
itu” ia mulai
tersenyum.
“Aku
minta seluruh hati
kamu hanya untukku”
kutatap tajam matanya.
“Takkan
pernah bisa” sahutnya
mengagetkanku.
“Yang
pertama kan selalu
Allah Ta'ala. Belum lagi
aku juga akan
membagi hatiku untuk putri kita, eh putrimu kan?” ia menjelaskan
sebelum sempat hilang
rasa terkejutku.
Kucibirkan
bibirku didepannya. Dalam
hati aku bersyukur
ia telah dikembalikan
padaku, bahkan telah
mau menerima putriku
sebagai bagian dari
darah dagingnya sendiri.
“Ibu,
siapa nih?” putriku
bertanya sembari menunjuk
ia yang masih
berlutut.
“Duh....
capek nih” erang
sang pria.
“Siapa
ya?” aku tersenyum
kepada putriku.
No comments:
Post a Comment