MALAM MENJADI
MIMPI
Langit masih
saja terus menumpahkan
tangisannya semenjak tadi
pagi. Dimusim penghujan
seperti ini aku
jadi sering lebih
banyak berdiam diri
di rumah saja.
Pekerjaanku
menyadap(mengumpulkan sari pohon
kelapa untuk diolah
menjadi gula merah)
pun jadi tak
bisa kulakukan.
Tok tok
tok. Suara pintu
diketuk terdengar olehku.
Kulirik jam
dinding yang menunjukkan
pukul 17.30. Siapa
gerangan yang bertamu
disaat seperti ini?.
Rumahku memang tak
mudah dicapai karena
selain terletak dibagian
paling ujung jalan
setapak yang ada,
kondisi jalannya pun
cukup membuat kerutan
di dahi semakin
banyak.
20 menit.
Itu waktu terbaikku
untuk mencapai rumahku
dari ujung jalan
sana yang berada
tak jauh dari
sebuah pertigaan dengan
berjalan kaki. Waktu
terbaikku pun harus
dengan 2 syarat.
Syarat pertama ialah
siang hari. Syarat
kedua ialah kondisi
cuaca yang cerah.
Waktu tempuh akan
bertambah jika harus
melalui jalan di
malam hari atau
aku bersama istri
dan kedua putriku.
Tak dapat
kutebak siapa yang
saat ini sedang
berada dibalik pintu
depan rumahku. Hanya
dapat kubayangkan bagaimana
susah payahnya ia
melewati jalan setapak
itu dalam kondisi
turun hujan lebat
seperti ini. Sebelum
terdengar ketukan kedua
segera kubuka pintu
yang memang tak
terkunci itu.
Jantungku sesaat
kurasa berhenti berdetak
demi mengenali tamu
yang kini berdiri
dihadapanku. Meski rambut
panjangnya yang basah
terguyur hujan menutupi
sebagian wajahnya, tapi
aku yakin dengan
penglihatanku sendiri.
“Saha?(siapa?)” istriku
bertanya dari belakang
punggungku.
“Rencang(teman)” sahutku.
“Kalebet
atuh(suruh masuk saja)”
istriku berkata lagi.
Kugerakkan tubuhku
agar sejajar dengan
daun pintu rumahku
agar terbuka jalan
untuknya.
“Masuklah” kataku
kepada tamuku ini.
“Assalamu’alaikum” tamuku
beruluk salam.
“Wa’alaikum salam”
kami menyahut berbarengan.
“Handuk” aku
berkata kepada istriku.
Tanpa menuruti
perintahku istriku langsung
menarik tamuku ke
dalam kamar diiringi
pandangan heran kedua
putriku. Sebelum istriku
menutup pintu kamar,
kedua putriku menyelinap
masuk pula ke
dalam kamar.
Sepeminuman teh
kemudian mereka sudah
keluar kamar. Istriku
memakaikan salah satu
pakaiannya untuk tamuku,
daster bercorak kelopak
bunga kesukaannya. Sebelumnya
tak pernah kulihat
ia mau meminjamkan
daster kesukaannya tersebut
kepada orang lain.
Hatiku tersentak
melihat sebuah gelang
benang anyaman di
tangan kiri tamuku.
Sewaktu ia datang
tadi aku tak
melihatnya karena tertutup
oleh lengan jaketnya.
Resah di hatiku
segera kusingkirkan dan
kucoba memakai topeng
senyum terbaik di
wajahku ketika melihat
putriku yang tertua
menghampiriku.
“Kenalkan ini
Dewi teman sekelas
dulu waktu smp”
aku perkenalkan tamuku
kepada keluargaku.
“Ini istriku,
Rani” kuperkenalkan istriku
pada tamuku.
“Ini Rina,
sekarang sudah kelas
2 sd” kutunjuk
putri tertuaku.
“Yang ini
Niar” putri keduaku
kuperkenalkan terakhir.
“Diminum dulu
teh hangatnya” istriku
mengikutiku menggunakan bahasa
Indonesia.
“Terima kasih”
Dewi menyahut singkat.
“Kapan sampai”
aku berbasa-basi. Sengaja
tak kutanya kabarnya.
“Tadi setengah
lima. Nunggu sebentar
di pertigaan tapi
ga ada tukang
ojek, ya udah
aku langsung aja
jalan kesini sendiri.”
“Jika
hujan
seperti ini memang
jarang ada tukang
ojek” sahutku.
“Tadinya sempet
ga yakin ini
rumah kamu. Tapi
pas merhatiin teras
depan aku jadi
yakin. Aku langsung
ketuk pintu aja”
“Teras depannya
kenapa?” istriku bertanya
penasaran.
“Pohon mangga.
Dulu sering main
disitu” sahutku cepat
sebelum Dewi sempat
menjawab. Sebenarnya aku
tahu yang dimaksud
Dewi, tapi aku
harus memikirkan perasaan
istriku juga maka
kucari alasan saja.
Kebetulan memang sebuah
pohon mangga tumbuh
disana.
“Udah ada
listrik sekarang” Dewi
memperhatikan.
“Baru setahun
listrik masuk ke
desa ini” istriku
yang menjawab.
“Owh....” Dewi
membulatkan bibirnya.
“15 tahun.
Lama juga kita
ga ketemu ya”
Dewi seakan bertanya
kepadaku. Tapi yang
sesungguhnya terdengar oleh
telingaku adalah “Kamu kemana
saja, kenapa tak
pernah memberi kabar?”.
Cukup sulit aku
untuk mencari jawabannya
karena sebenarnya aku
juga tahu alamatnya
sewaktu ia tinggal
di Jakarta setamat
smp untuk meneruskan
sekolah disana.
“Waktu kami
menikah juga ada
undangan untuk kamu
tapi aku lupa mengirimkannya” ku
beralasan. Alasan yang
sungguh kentara dibuat-buat
saja olehku. Beruntung
Dewi tak melanjutkan
pertanyaannya.
Sudah pkl 20.44
ketika putri tertuaku
kulihat menguap. Tak
terasa waktu saat kami
bercengkerama saling bertanya
satu sama lainnya.
Memang sebenarnya pun
sudah waktunya tidur
bagi kedua putriku.
Malam diluar pun
telah semakin pekat
karena ditambah hujan
yang masih juga
tak ingin segera
beranjak dari desa
kami.
Kuangkat tubuh
putri keduaku yang
telah tertidur pulas
dipangkuan ibunya. Setelah
kedua putriku kubaringkan
di tempat tidur
aku kembali keluar
kamar.
“Aku tidur
di ruang tamu”
aku mengalah karena
memang rumahku tak
begitu besar.
“Ayo kita
juga tidur” ajak
istriku kepada Dewi.
Istriku berjalan
melewatiku. Aku menyingkir
sedikit untuk memberi
jalan Dewi.
Bukk....
Sesak nafasku
setelah Dewi meninju
ulu hatiku dengan
tepat.