YANG HILANG
Pagi hari
pertamaku didesa ini. Pertama kalinya
seumur hidupku bangun
sepagi ini dihari
minggu. Kutengok arlojiku
baru saja menunjukkan
pkl 06.01. Baru lewat
1 menit? Keningku
berkerut rasanya melihat
arloji yang sangat
lambat menjalankan jarumnya
berputar.
Kugulingkan badanku
memutari tempat tidur
dengan malasnya. Setelah
menghirup nafas beberapa kali
barulah aku membangunkan
badanku dan kusandarkan
disalah satu tiang
penyangga tempat tidur.
Mataku mencari-cari sendalku
yang kuyakin semalam
telah kuletakkan disisi
tempat tidur ini.
Tak kutemukan
yang kucari. Tambah
pula gerutu dalam
hatiku. Terkejut kudapati
lantai dikamar ini
begitu dingin dipagi
hari ini. Kubiarkan
sejenak sepasang kakiku
merasakan dinginnya lantai
agar terbiasa.
Setelah kurasa
telapak kakiku sudah
merasa bersahabat dengan
dinginnya lantai segera
ku beranjak menuju
keluar kamar. Tak
ada siapa-siapa diluar
kamar. Kulangkahkan tubuhku
ke kiri menuju
dapur.
“Sudah bangun?”
Nur menyapaku dengan
senyumnya. Hanya kuanggukkan
kepalaku sedikit menjawab
pertanyaannya.
“Cuci muka
dulu sana” suruhnya.
Kuseret lagi kakiku
kearah kamar mandi.
Kubuka pancuran yang
ada disisi bak
air. Terasa lebih
dingin dari lantai
dikamar tidur, tapi
segar dan menyejukkan.
“Mana tante?”
tanyaku setelah kembali kedapur.
“Panggil bibi
juga boleh. Disini
desa, bukan kota”
Nur tersenyum lagi.
“Bibi sedang
menyapu didepan” jelasnya
kemudian.
“Kamu sedang
apa?” tanyaku lagi.
“Bikin pepes
tahu” jawabnya.
“Pepes tahu?”
ulangku. Terlihat ia sedang memanggang
suatu bungkusan berdaun
yang diletakkan dipingiran
sebuah tungku tanah.
“Iya. Kamu
tidak tahu?”
“Aku mah
tempe” sahutku sekenanya.
Tertawa ia mendengar
jawabanku yang asal.
“Begini, tahu
yang sudah dicampurkan
dengan bumbu kemudian
dilapisi dengan daun
pisang terus dipanggang
seperti ini. Seringnya
lebih banyak dengan
cara dikukus, tapi
aku senang memanggang
seperti ini” jelas
Nur.
“Harus pakai
tungku ini?” tanyaku
sembari menunjuk tungku
tanahnya.
“Tungku?” Nur
terheran.
“Oh benar,
tungku” tersenyum ia
setelah mengerti.
“Tungku tanah
ini disebutnya hawu.
Hawu bisa juga
berarti debu, karena
tungku ini pada
proses pembuatannya dilapisi
debu dibagian akhir pembuatannya. Mungkin
juga karena hasil
bakarannya juga debu
makanya disebut hawu”
jelasnya lagi.
“Hawu?” tanyaku
gantian yang heran.
“Jika kamu
sebut tungku mungkin
tak ada yang
tahu” yakinnya.
“Tempe” sahutku
cepat dan kami tertawa bersama.
Cidadap nama
desa ini. Nur
adalah sepupuku. Aku
sendiri kurang begitu
jelas tentang keluarga
kami. Yang aku
tahu bahwa aku pernahna(harus memanggil)
bibi kepada ibunya
Nur. Jadi Nur
masih adik sepupuku.
Tapi karena kami
seumuran, dari semalam
waktu kami pertama
bertemu aku sudah
memintanya untuk memanggil
namaku saja tanpa
sebutan teteh(kakak perempuan).
Padahal kemarin
aku masih berada
di Jakarta. Karena
alasan yang tak
bisa kusebutkan, aku
terpaksa ‘diungsikan’ sementara
ke desa ini.
Yang jelas aku
kemarin sampai nekat
kabur dari rumah
karena tak ingin
ke desa. Dan
dengan bodohnya aku
kabur ke rumah
Nita, yang rumahnya
bersebelahan dengan rumahku,
sahabatku. Sebenarnya aku
telah mengancam Nita
agar jangan memberitahukan keberadaanku
dikamarnya. Tapi ancaman
tante Nila, ibunya
Nita yang diajak
mencariku bersama ibuku,
lebih mengerikan, Nita diancam takkan
diberi uang jajan
selama seminggu jika
tak mau memberitahukan dimana
aku bersembunyi.
Dengan terpaksa
aku keluar dari
lemari pakaian Nita
dengan diiringi tatapan
memelas dari Nita.
Hanya sejam aku
sempat kabur dari
rumah dan bersembunyi
di dalam lemari
pakaian Nita.
Diluar rumah
Nita ayah sudah
menunggu. Saat itu
juga kami berangkat.
Orangtuaku langsung kembali
ke Jakarta tadi
pagi sebelum aku
terbangun. Kata Nur
mereka hanya sempat
mengecup keningku saja
karena tak ingin
membangunkanku yang terlihat
pulas.
“Nonton tivi
yu” ajakku kemudian.
“Sekarang?” tanya Nur. Kuanggukkan kepalaku
cepat.
Nur mengajakku
ke ruang tamu.
Dibukanya sebuah pintu
lemari dengan cara menaikkan daun
pintu lemarinya kearah
atas. Ternyata ada
sebuah tv didalamnya.
“Tivi masih
barang mewah disini.
Tahun ini adalah
tahun pertama listrik
ada didesa. Jadi
maklum saja jika
tivinya ditaruh dalam
lemari seperti ini”
“Oh....” bibirku
membulat.
“Apakah semua
anak kota seperti
kamu? Pagi-pagi sudah
nonton tivi? “
“Kan ini
hari minggu. Seharian
nonton saja. Acaranya
juga bagus-bagus.” Sahutku
“Disini kami
jarang menonton tivi.
Hampir tidak pernah boleh
dibilang.”
“Kenapa?” tanyaku.
“Tidak sempat
saja. Pagi-pagi seperti
ini kami membantu
ibu. Selesai mandi
kami akan berkumpul
bersama teman-teman, bermain
hingga siang hari.
Setelah solat lohor
kami akan beristirahat
sebentar....”
“Istirahat nonton
tivi?” potongku.
“Bukan nonton
tapi tidur siang”
jawabnya.
“Terus?”
“Kami bangun
menjelang ashar, kemudian
bersiap untuk mengaji
di surau. Selesai
mengaji kami masih
ada waktu untuk
bermain lagi sebentar.
Menjelang magrib kami
akan bersiap lagi
untuk kembali ke
surau hingga waktu solat isya.
Selesai isya berjamaah
barulah kami pulang
ke rumah masing-masing.”
“Berarti masih
sempat nonton kan?”
tanyaku lagi
“Setelah itu
kami hanya belajar
sebentar kemudian langsung
tidur”
“Tidak ada
kegiatan lain?” tanyaku
heran. Nur hanya
menggelengkan kepalanya.
“Aku bersih-bersih
rumah dulu ya” ia kemudian
meninggalkanku.
Terlihat ia
mondar-mandir beberapa kali
melewati ruang tamu.
Tak sekalipun terlihat
ia malas, dengan
semangat semua dikerjakannya.
“Selesai” tersenyum
ia mengatakannya.
“Kamu mau
mandi duluan atau
aku yang mandi
duluan?” tanyanya.
“Bareng yu....”
ajakku tersenyum.
“Ga mau”
tolaknya.
“Kenapa? Kan
kita sama-sama cewe?”
aku heran dengan
penolakannya.
“Kamu duluan
yang mandi” suruhnya.
Dia memberikan handuk
padaku.
Kubercermin setelah
selesai mandi merapikan
pakaian yang akan
kukenakan. Kutunggu cukup
lama dikamar menunggu
Nur mandi.
“Ga nonton
lagi?” Nur bertanya
ketika melihatku didalam
kamar.
“Kapan sih
kamu lepas jilbab
kamu? Dari pagi
aku ga pernah
lihat kamu lepas
jilbab....” aku bertanya
melihat ia masuk
kamar dengan pakaian
yang sudah diganti.
“Ini bukan
jilbab tapi kerudung”
sahutnya.
“Apa bedanya?”
tanyaku cepat.
“Jilbab itu
menutupi kepala juga
seluruh bagian dada
perempuan. Mungkin suatu
hari nanti aku
juga akan memakainya.
Tapi sekarang aku
rasa hanya perlu
memakai kerudung saja”
Nur menjelaskan.
“Oh... baru
tahu aku”
“Aku perlu
bilang ‘tempe’ ga
nih?” candanya. Kamipun
tertawa bersama.
“Assalamu’alaikum....” terdengar
salam dari depan.
“Wa’alaikum salam....”
jawab kami berbarengan.
“Sini” tangan
kananku ditarik oleh
Nur.
Di depan
rumah sudah berkumpul
3 orang anak
perempuan sebaya kami.
“Saha
eta?(siapa itu?)” tanya
yang paling tinggi
diantara mereka.
“Nyariosna
anggo basa indonesia,
ameh anjeunna ngartos(berbicara dengan
bahasa indonesia saja
agar dia mengerti)”
sahut Nur.
“Kenalkan Fitri”
Nur menunjuk ke
anak yang paling
tinggi.
“Yang ini
namanya Indri” Nur
mengenalkan yang berambut
sebahu.
“Dia Kiki”
Nur mengenalkan yang
paling kanan.
“Namaku Mutiara,
panggil saja Tiara.
Salam kenal” aku
memperkenalkan diriku.
“Salam kenal”
mereka menyahut.
“Make
anu saha?(pakai punya
siapa?)” Fitri berbicara
“Indri sudah
bawa kan?” Nur
menjawab seakan mengingatkan
dengan menggunakan bahasa
indonesia.
“Bawa” sahut
Indri.
“Lompat gunung
dulu atau lompat
karet?” tanya Indri
kemudian.
“Lompat gunung
saja” Kiki cepat
menjawab.
“Gunung yang
mana yang akan
dilompati?” tanyaku.
“Gunung yang....”
Fitri belum sempat
selesai menjelaskan kalimatnya
karena terpotong tawa
Nur.
“Kenapa?” tanyaku
“Bukan gunung
betulan, tapi hanya
gunung-gunungan. Seperti ini” setelah reda
tawanya Nur kemudian
mengambil sepotong ranting.
Ia menggambar beberapa
kotak persegi dan
panjang di atas
tanah, gambar terakhir
berupa gambar setengah
lingkaran.
“Yang ini
disebut gunung” Nur
menunjuk gambar setengah
lingkaran.
“Karena itu
disebut permainan lompat
gunung” tersenyum ia
menjelaskannya padaku.