BIAR HUJAN MENGHAPUS JEJAKMU
Kriiiingggg....
Bunyi
jam weker sungguh
mengganggu. Sebenarnya akupun
tak suka tapi
semalam memang aku
yang menyetelnya. Pkl
09.01 kulirik waktu
di jam wekerku.
Terasa
berat bangun jam
segini dihari libur
buatku. Tapi ketika
terpikir bahwa hari
ini adalah hari
kencan pertamaku dengan
Yudi, jadi semangat
juga untuk membuka
mataku. Mata yang
masih ingin dipejamkan
lagi karena tak
terbiasa bangun dipagi
hari seperti ini,
kecuali jika hari-hari
sekolah tentunya.
Kuseret
sepasang kakiku menuju
kamar mandi. Setelah
mandi terasa sedikit
terbuka juga sepasang
mataku. Kubuka lemari,
dan kuambil gaun
terusan berwarna biru
sepanjang lututku lebih
sedikit. Kupakai juga
sweater rajutan kebanggaanku
untuk sekedar menutup
bahuku yang terbuka.
Sejenak
aku merasa bingung
juga didepan cermin,
apakah rambutku yang
panjang hitam lurus
ini harus digeraikan
saja atau kutata sedikit?
Hmmm.... setelah kupatut-patut
diriku sekali lagi,
akhirnya kuputuskan untuk
memakai topi lebar
hadiah dari mama.
Baiklah,
aku sudah cantik
sekarang. Sebenarnya aku
sudah cantik dari
semenjak lahir koq
kupikir-pikir lagi sambil
menatap wajah yang
ada di cermin.
“Lisa
sarapan dulu sayang”
mama memanggilku dari
luar kamar.
“Iya
ma”
Kurapikan
sekali lagi dandananku
hari ini. Kutatap
juga cermin sekali
lagi untuk memastikan
tak ada yang kurang dari
diriku.
“Buka
dulu dong topi
kamu” mama menegurku.
“Maaf
ma, buru-buru nih”
sahutku.
Kulepas
topiku.
“Mau
kemana hari ini?
Cantik bener putri
mama”
“Mau
jalan-jalan sama temen
doang ma” sahutku.
“Siapa?”
tanya mama lagi.
“Yudi
ma”
“Jalan
berdua doang?”
Aku
hanya menggangguk karena
mulutku sedang sibuk
mengunyah.
“Jam
5 sore kamu
sudah harus dirumah.
Dan Yudi harus
yang nganterin kamu
kerumah.”
“Mama....”
aku merajuk.
“Jam
5.” Mama melambaikan
tangan kanannya di
depan wajahku.
Hilang
sudah selera makanku
pagi ini. Tadinya
kami berencana pulang
sedikit lebih sore
lagi. Pkl 8
malam mungkin.
Tapi
keputusan mama memang
keras. Beliau bilang
jam 5 ya
berarti harus jam
5. Arrghhh.... ingin
rasanya aku mengacak-acak
rambutku. Tapi sayang
sudah capek-capek kutata
tadi, masak harus
kubongkar lagi?
Setelah
selesai makan segera
ku isi tenggorokanku
dengan segelas jus
jeruk. Sedikit terasa
menyegarkan otakku yang
sedang panas memikirkan
ultimatum mama tadi.
Kuhela
nafas panjang....
“Aku
berangkat ma!” teriakku
sambil berjalan menuju
gerbang rumah.
“Hai
mau kemana Nur?”
kusapa teman sekelasku
yang kutemui di depan
gerbang.
“Assalamu’alaikum, aku
baru pulang dari
warung” jawabnya.
“Beli
apaan tuh?” tanyaku
melirik bawaannya.
“Bumbu
dapur, disuruh ibu”
“Oh....”
“Aku
duluan ya, lagi
ditunggu ibu.” pamitnya.
“Oke
deh” sahutku
“Assalamu’alaikum” dia
berikan salam lagi.
“Wa’alaikum salam”
kubalas karena merasa
tak enak hati
dengannya.
“Pagi
kak Intan” sapaku
pada kasir swalayan
yang sedang berjaga.
“Pagi
Lisa” senyumnya.
Segera
kuhampiri deretan rak minuman ringan
di sudut. Kulihat-lihat
deretan minuman yang
tersusun rapi disana.
Kuraih salah satunya.
“Eh
lo serius ama
si Lisa?” kudengar
suara dari balik
rak. Merasa kenal
suaranya, aku ingin
memastikan dengan melihat
ke cermin yang
terpasang di sudut.
Oh Yudi bersama
temannya. Segera aku
berbalik dan menyapa
mereka.
“Ha....”
suaraku terpotong di
tenggorokan oleh kalimat
seseorang dari mereka.
“Ya
enggak lah. Gue
cuma mau deketin
si Ayu aja.
Ntar kalo dah
deket ama si
Ayu, gue buang
dia” Yudi yang
bicara.
“Ntar
kalo si Ayu
nanya gimana?” tanya
Yuda lagi.
“Gampang
bisa diatur. Lo
kaya enggak tau
gue aja. Ha
ha ha....” Yudi
tertawa.
Sakit.
Kugigit bibir bawahku
keras. Tak bisa
kutahan butiran bening
yang mulai menggumpal
dan menetes turun
dari sudut mataku
ini. Kuseret sepasang
kakiku perlahan-lahan menjauh
dari tempat ini.
Masih sempat kuletakkan
minuman yang tadi
kuambil di meja
kasir. Tak kupedulikan
tatapan heran kak
Intan.
Segera
ku berlari keluar
swalayan.
Turun
hujan deras setelah
aku keluar dari
swalayan, seakan menurut
perasaan hatiku. Cuaca
pun menjadi gelap,
awan mendung ditambah
lagi derasnya hujan.
Kumaki-maki diriku yang
begitu bodohnya. Begitu
mudahnya aku memilih
seseorang yang kukira
memang pilihan yang
tepat. Sedikit aku
bersyukur karena ini
baru rencana kencan
kami yang pertama
kali, dan akupun
belum memberikan apapun
padanya.
Kuteruskan
ayunan langkahku menembus
derasnya guyuran hujan.
Kuingin segera sampai
dirumah dan menangis
sepuasnya, menumpahkan semua
sakit dihati ini.
Kuhentikan
langkahku sejenak sebelum
menyeberang jalan.
“Masa
kecil kurang bahagia
ya? Ngapain ujan-ujanan?”
sebuah suara mengagetkanku.
“Biarin”
ketusku.
Payung
yang dipegangnya cukup
besar untuk kami
berdua. Setelah berdiri
disisiku untuk menyeimbangkan lindungan payungnya
untuk kami, ia
membantu menyeberangkanku.
“Untung
ujannya gede, jadi
ga bakalan ketauan
kalo kamu lagi
nangis”
“Siapa
yang nangis!” bantahku.
“Ha
ha ha ha....
kamu yang anak
mami gini masa
mau jalan lagi
ujan gede gini?
Ga usah ngaco
deh, tadi di
swalayan aku juga
denger apa yang
mereka omongin”
Gemuruh
didadaku rasanya bertambah
nyaring saja ketika
ia terus menemaniku
berjalan pulang.
“Kenapa
kita terjatuh? Supaya
kita bisa belajar
untuk bangkit lagi”
katanya ketika kami
sudah sampai di
depan gerbang rumahku.
Disodorkannya gagang payung
ke tanganku.
“Kamu?”
tanyaku
“Berikanlah payung
pada orang yang
kehujanan walaupun ia
tidak memintanya” tersenyum
ia memberikan payungnya.
“Sebagai
seorang cowo, aku
akan malu jika
tadi membiarkanmu kehujanan
disana” lanjutnya.
“Terimakasih....” kuharap
hujan menutupi air
mataku yang tumpah
mengalir dipipiku.
No comments:
Post a Comment