Monday, February 24, 2014

Cerita Cinta

Cimerak,  11  November  2013

Cerita Cinta


“Nur Hasanah”  wali  kelasku  memanggil  namaku. Aku  dan  ibuku  segera  menghampirinya.
“Lebih  rajin  lagi  belajarnya  ya”.
Ibu  Ani,  wali  kelasku  berkata  sembari  menyerahkan  buku  rapotku kepada  ibuku.  Ibu  Ani  kemudian  memberi  senyuman  ke  arahku.
“Terima  kasih  bu”  ibuku  menjawab.

Kami  berjalan  meninggalkan  ruang  kelasku  menuju  arah  gerbang  sekolah.  Banyak  anak-anak  murid  disertai  orang tua  mereka  hari  ini.  Tak  sedikit  pula  yang  membawa  anak-anak  kecil,  mungkin  adik  si  murid.  Riuh  ramai  sekolahku  hari  ini.  Hari  ini  rapot  kelasku,  kelas  1  cawu  pertama,  dibagikan  juga.

Aku  dengar  dari  salah  satu  guruku  bahwa  tahun  depan  ada  kemungkinan  sistem  cawu  akan  dihapus  dan  diganti  dengan  sistem  semester.  Untuk  alasan  memperbanyak  waktu  belajar  yang  aktif,  yang  berarti  waktu  liburan  kami  murid-murid  juga  akan  berkurang.  Dilihat  pun  akan  segera  ketahuan  bahwa  banyak  murid-murid  yang  tidak  setuju  jika  tidak  mau  dibilang  menolak  terhadap  sistem  ini.  Alasannya  tentu  waktu  liburan  yang  jadi  berkurang  secara  drastis  tadi.  Wajar  saja,  kami  kan  masih  anak-anak.  Masih  ingin  banyak  bermain  daripada  belajar  tentunya.

Apapun  itu  tentunya  sistem  semester  ini  akan  diterapkan  juga  akhirnya.  Kata  guruku  juga  tinggal bagaimana  nanti  kita  yang  harus  beradaptasi  dengan  sistem  baru  tersebut.  Kadang  terfikir  juga  olehku  apakah  mereka  yang  memutuskan  terhadap  penggunaan  sistem  ini  sudah  memikirkan  kami  murid-murid  yang  akan  menanggung  bebannya?  Entahlah.  Lagipula  aku  masih  kelas  1,  untuk  apa  aku  memikirkannya.

Mulai  besok  sekolahku,  MTs Negeri 1 Cimerak,  berarti  akan libur.

Kutinggalkan  gerbang  sekolah  bersama  ibu.  Hari  ini  ibu  memilih  untuk  naik  ojek  dari  persimpangan  yang  ada  dipersimpangan  jalan  dekat  sekolahku.  Keluargaku  sebenarnya  mempunyai  sebuah  sepeda  motor  juga,  tapi  ibuku  tidak  bisa  mengendarainya,  selain  ibuku  juga  yang  memang  tak  ingin  mengendarainya.  Ibu  beranggapan  perempuan  yang  mengendarai  sepeda  motor  tidak  pantas.  Ibu  memang  masih  termasuk  generasi  kolot  di  desaku.  Biasanya  aku  berjalan  pulang  bersama  teman-teman  sekelasku.  Cukup  jauh  sebenarnya  jarak  rumahku  ke  sekolah.  Tapi  banyak  juga  murid-murid  yang  berasal  dari  kampungku,  jadi  walau  tidak  sekelas  pun  masih  banyak  juga  yang  aku  kenal.

Sembari  berjalan  pulang  kami  sering  membicarakan  apa  saja  yang  tadi  terjadi  di  sekolah.  Dari  hal  yang  sepele  seperti  siapa  yang  hari  ini  mendapat  hukuman  karena  tidak  mengerjakan  pekerjaan  rumah,  sampai  hal-hal  yang   tidak  berguna  lainnya.  Sembari  berjalan  melewati  jalan  raya  yang  hanya  satu-satunya  di  desa  kami  ini,  tidak  terlalu  ramai  juga  jalan  raya  ini  karena  memang  bukan  jalur  utama  pula.

Beberapa  ratus  meter  kemudian  kami  berbelok  ke  arah  kiri  di  sebuah  persimpangan  yang  dekat  dengan  sebuah  rumah  temanku,  dia  yang  terdekat  dari  sekolah.  Kami  berjalan  melewati  sebuah  jalan  desa  yang  membelah  beberapa  petak  sawah  di  desa  ini.  Jalan  di  desa  ini  sudah  beraspal,  tapi  hanya  aspal  sekedarnya  saja,  hanya  sekedar  bisa  dilalui  manusia  saja  kufikir.

Selepas  melewati  sawah  ini  maka  akan  menemukan  sebuah  persimpangan  lagi.  Aku  mengambil  yang  ke  arah  kanan. Dari  persimpangan  ini  kami  masih  harus  berjalan  melewati  sebuah  desa  lain  sebelum  benar-benar  memasuki  desaku.  Ada  beberapa  teman  kami  yang  tinggal  di  desa  ini.  Setelah  berpisah  dengan  beberapa  teman  kami  yang  tinggal  di  desa  ini,  kami melanjutkan  perjalanan  pulang  kami.

Setelah  beberapa  menit  berjalan  melanjutkan  perjalanan  kami  dan  juga  melewati  beberapa  petak  sawah,  akhirnya  sampai  juga  di  desaku.  Aku  yang  pertama  memisahkan  diri  dari  rombongan  teman-teman.  Tak  terasa  memang  perjalanan  pulang  sekolah  ini  jika  bersama  teman-teman.  Tentu  saja  esok  kami  masih  akan  berangkat  sekolah  bersama  lagi.

“Rangking   berapa?”  kakek  langsung  menyambutku.
“Rangking  1  lagi”  ibu  yang  menjawab.
“Pintar  cucu  kakek”  kakek  tersenyum  kepadaku  sembari  mengusap  kepalaku  yang  tertutup  kerudung.  Aku  membalas  senyumnya  sembari  mencium  tangannya.

Dari   kelas  1  SD  memang  sudah  terlihat  kepintaran  yang  aku  miliki,  banyak  yang  bilang  jika  itu  adalah  warisan  dari  nenekku  yang  meninggal  sesaat  sebelum  aku  lahir.  Kata  mereka  kepintaran  nenekku  diwariskan  kepadaku.  Nenekku  sewaktu  beliau  hidup  merupakan  perempuan  terpandai  di  desa  kami.  Hanya  nenekku  perempuan  yang  bisa  membaca  dan  menulis  pada  waktu  itu  di  desa  kami.  Sekarang  aku  yang  mewarisi  kepintarannya  tersebut,  menurut  cerita  beberapa  orang  di  desaku.  Aku  percaya  saja.

Selesai  berganti  pakaian  aku  segera  ke  warung  milik  keluargaku. Ternyata  ibu  sudah  lebih  dulu  di  warung.  Seperti  biasa  aku  membantu  di  warung  bersama  ibu.  Tiap  hari  sepulang  sekolah  aku  membantu  sebisaku  di  warung,  meskipun  sebenarnya  aku  lebih  banyak  hanya  melihat-lihat  saja  kegiatan  ibu  melayani  orang-orang  yang  berbelanja  kebutuhan   mereka  diwarung  kami  ini.  Disebut  membantu  pun  hanya  sedikit  saja  sebenarnya.


            “Nur”  terdengar  suara  Fitri  memanggilku.
“Rangking  berapa?”  Fitri  bertanya.
Kutunjukkan  jari  telunjukku  di  depannya.  Wajahnya  berbinar  seolah  sudah  tahu  saja  sebelumnya.

“Main  yuk....”
Kami  bermain  dipekarangan  rumahku.  Fitri  sahabatku  dari  kecil,  rumah  kami  pun  berdekatan.  Rumah  Fitri  berada  dibelakang  rumahku.  Hanya  kami  berbeda  sekolah.  Fitri  di  SLTP  Negeri  1  Cimerak.

Setelah  lelah  bermain,  kami  berteduh  di  bangku  bambu  panjang  di  depan  rumah.

“Hei!”  teriakan  Fitri  mengejutkanku.
“Kenalan  yuk  sama  temanku”  Fitri  mengajakku.

Rupanya  seorang  temannya  yang  tadi  dipanggilnya  dengan  berteriak.  Temannya  berdiri  dipinggir  jalan  menunggu  kami.  Seorang  pria.


Cidadap  11  November  2013

Mengenang  Nur  Hasanah

Wednesday, February 12, 2014

Ketika Cinta Bercerita

                                                                             Cimerak, 11 Nov 2013

Ketika Cinta Bercerita



“Nur Hasanah”

Jika kakek sudah menyebut namaku dengan lengkap seperti itu berarti beliau akan memulai memberikan wejangannya untukku. Itu juga berarti aku harus duduk diam dan sopan selama beliau memberikan petuah-petuahnya.

Sebenarnya petuah beliau selalu sama setiap kali. Selalu yang itu-itu lagi. Tidak bosan beliau membagi sedikit pengalaman hidupnya kepadaku. Diawal beliau akan selalu bercerita tentang masa kecilnya yang juga nakal, menurut beliau sendiri, bahkan pernah sampai berlarian dipematang sawah demi menghindari kejaran ayah beliau, jika beliau melakukan suatu kenakalan anak-anak seperti biasa. Dibagian ini sebenarnya aku selalu tertawa dalam hati membayangkan kakekku dimasa kecilnya yang sedang dikejar-kejar oleh ayahnya. Karena keluarga kami memang keras dalam hal didikan dalam keluarga. Aku sendiri masih merasakan kerasnya didikan dari beliau langsung, walau sedikit longgar juga. Mungkin karena beliau juga mengerti kerasnya didikan tersebut harus diiringi kasih sayang sebagai orang tua, dalam hal ini aku sebagai cucunya.

Saking hapalnya dengan cerita tentang kakek yang dikejar-kejar oleh ayahnya, aku sering menirukan beliau menceritakannya didepan ibu dan adikku. Hal itu selalu berhasil membuat kami tertawa senang, karena membayangkan kakek yang masih gagah diusia senjanya itu ternyata pernah punya pengalaman seperti itu. Tentu saja kami melakukannya hanya ketika kakek sedang tidak ada.

Ketika bayang pohon jambu air dipekarangan rumah kami sudah memanjang menyentuh sisi jalan aspal yang membelah desa ini, bahkan tanpa melihat jam dinding pun aku tahu jika sebentar lagi akan terdengar kumandang adzan ashar dari surau kecil didekat rumah kami. Itu berarti saatnya aku untuk bersiap ke surau juga.

Selesai dari surau aku mandi membersihkan diriku, setelah sebelumnya aku memandikan adikku terlebih dahulu. Dikamar, didepan cermin kupandangi wajah yang terdapat didalam cermin sana. Sebuah wajah yang sama, yang selama 20thn ini kugunakan. 20, umur yang menurut ukuran didesa kami ialah umur dimana seorang gadis sudah dianggap cukup matang untuk berumah tangga. Fitri sahabatku, seumur denganku juga, bahkan kini telah mempunyai seorang anak laki-laki yang telah berumur 3thn. Wajar saja, karena begitu lulus SLTP Fitri langsung dinikahkan oleh orangtuanya. Ia tidak sempat meneruskan pendidikannya lagi. Bagi kebanyakan perempuan didesa kami, tidak ada gunanya menempuh pendidikan tinggi sekalipun karena akan berakhir didapur juga. Aku cukup beruntung bisa menamatkan pendidikan di MAN Nurul Huda, sekolah terbaik di kecamatan ini.

Aku sedang membaca ketika terdengar suara seorang pria yang menghampiri ibuku dipekarangan rumah. Kuintip dari celah tirai jendela dari ruang tamu, terlihat ibu sedang bercengkerama dengannya. Sang pria hanya terlihat sesekali mengangguk saja dengan senyum menghias dibibirnya.

Akankah sang pria memaafkanku jika ia tahu aku sebenarnya masih menunggu seseorang jauh didalam hatiku, meski aku sekarang telah menjadi istrinya?


*                            *                           *                           *


“Laki sialan!”

Suara kakek terdengar sangat nyaring dari ruang tamu. Masih banyak lagi umpatan kakek yang begitu emosi diumbar dengan mulutnya yang sebenarnya sangat-sangat jarang berkata kasar. Beliau seperti itu setelah mengetahui perselingkuhan suamiku dengan gadis desa tetangga sebelah. Kudengar kabar jika si gadis baru saja pulang setelah bekerja sebagai TKW di negeri tetangga, dan juga secara penampilan menarik, genit manja menggoda.

Suamiku yang memang masih suka bermain-main saja bertemu dengannya dan langsung tertarik. Tentu saja kucing mana yang menolak bila diberi ikan segar, gratis pula?.

Selama ini aku selalu menunaikan segala kewajibanku sebagai seorang istri tanpa kurang suatu apapun. Bahkan beberapa teman priaku yang telah menikah banyak yang bilang jika ingin menyuruh istri mereka untuk belajar bagaimana menjadi istri kepadaku. Tentu saja kutolak dengan halus sanjungan mereka. Istri mereka juga bisa melakukan apa yang kulakukan kan?

Diusia kehamilanku yang telah menginjak bulan ke-7 ini, aku hanya bisa memasrahkan segalanya kepada-Mu Ya Allah. Apakah ini hukuman untukku karena aku masih saja menunggu orang lain didalam hatiku, meski aku telah menjadi istri dari suamiku yang sah? Duhai Rabb Yang Maha Pengasih, ampunkanlah hambamu yang lemah tak berdaya ini....


*                            *                           *                           *

          “Mana Elena?”

Tanpa menunggu jawabanku, Fitri langsung masuk ke dalam kamarku, meninggalkanku yang sedang membaca diteras belakang rumahku. Sesaat kemudian kususul ia ke dalam kamarku.

Dengan mengendong anaknya dipinggang kirinya, Fitri membelai halus putriku yang sedang tertidur pulas ditemani ibuku. Terlihat kekecewaan di raut wajah Fitri. Mungkin ia sebenarnya ingin mengajak putriku bermain sebentar seperti biasa.
         
         Kuayunkan sedikit ke arah pintu buku yang sedang kupegang untuk mengajak Fitri keluar. Setelah duduk bersisian di kursi panjang diruang tamu, Fitri mulai menanyakan keadaanku. Seperti biasa pula kami berbagi cerita bagaimana susah senangnya mempunyai belahan hati. Tak banyak yang kami bicarakan hari ini, hanya sedikit mengenang masa-masa sekolah kami dulu. Setiap hari kami melakukannya, selain memang kami sudah bersahabat sejak kecil, juga aku tahu Fitri hanya ingin menghiburku saja.

Fitri tahu bahwa saat aku melahirkan putriku, pria yang menjadi suamiku entah berada dimana. Hanya keluargaku dan Fitri saja yang menemaniku saat persalinan putriku.


*                            *                           *                           *


Dadaku sesak dari semenjak fajar menyingsing.

Semakin kuat saja tekanan firasat yang kudapatkan. Setelah selesai membersihkan pekarangan depan rumah, aku membersihkan diriku. Selesai berpakaian dan menata sedikit rambutku, aku menghampiri ibuku yang sedang bermain dengan putriku. Kupinta tangan kanannya, kucium 3x kemudian aku memohon maaf atas segala kesalahan yang pernah kulakukan. Beliau terheran-heran dengan sikapku, tapi belum sempat beliau bertanya aku segera ke sawah di samping surau. Sampai disawah kuhampiri kakek yang sedang berteduh disebuah gubuk yang berdiri di tegalan sawah yang cukup luas sekadar untuk berteduh. Ketika kulakukan hal yang sama seperti kepada ibuku, kakek juga terlihat bingung tapi tidak bertanya apapun.

Kulangkahkan kakiku kembali. Aku langsung masuk kedalam kamarku sesampainya dirumah. Sebenarnya aku ingin memeluk putriku saat aku berbaring diatas ranjang ini, tapi tak tega hatiku melihat raut wajah ibu yang senang bermain dengan cucunya. Aku juga masih ingin menunggu seseorang, pria yang kini masih kuukir namanya disudut hatiku. Tapi aku juga tahu bukanlah hak diriku untuk menentukan batas waktu yang telah ditentukan oleh-Nya.


Kuhayati setiap hembusan nafas yang aku tahu hanya tinggal beberapa saat tersisa ini....



Cidadap 11 Nov 2013
Mengenang Nur Hasanah

Tuesday, February 11, 2014

Cerpen Kita

Cimerak, 11 Nov 2013


Cerpen Kita

SLTP NEGERI 1 CIMERAK. Tulisan itu masih sama seperti 10 tahun lalu. Tampak sebuah langgar sederhana berdiri kokoh dihalaman depan sekolah ini, seakan menyambut kedatangan setiap murid. Taman disamping ruangan kelas 2-ku yang lama sekarang telah berubah menjadi tempat parkir. Wajar saja, karena murid-murid di SLTP NEGERI 1 CIMERAK banyak yang berasal dari desa-desa tetangga. Teman-teman seangkatanku bahkan ada yang harus berjalan beberapa km, melewati 2-3 desa, dengan jalanan tanah bercampur batu-batu seadanya. Maka jika sedang musim hujan, tak heran banyak yang tidak hadir dikelas, karena kondisi jalanan yang berubah menjadi kubangan.

Aku? Aku cukup beruntung karena rumah tempat tinggalku sewaktu menuntut ilmu disini hanya berjarak sepelemparan batu saja jauhnya. Rumah salah satu pamanku yang menjadi tempat tinggalku waktu itu. Sebuah rumah berdinding bambu yang berdiri dipinggir jalan. Dengan pemandangan hamparan sawah yang mengelilingi dari depan hingga belakang rumah pamanku.

Tak banyak yang berubah di desa ini. Hanya ada sebuah bangunan baru tepat didepan gerbang sekolah, sebuah toko yang menjual keperluan murid-murid saja. Pertigaan dekat sekolah pun masih tetap sama. Hanya ada sebuah toko dipojokannya, dengan sebuah pos ronda yang sekaligus menjadi tempat tukang ojek bernaung dikala panas hujan datang tak peduli waktu.

“Siapa yang peduli?” tanyamu ringan tak peduli apa jawabannya.
Siapa yang peduli? Entahlah....
“Tadi ketemu teteh Iah” mulai kubuka percakapan.
“Teteh Iah kakak kelasku?” kau bertanya.
Aku mengangguk.
“Sekarang dia sudah menjadi pengajar di PAUD. Dia menikah dengan kakak temanku. Sekarang badannya membesar” sepasang tangan kurentangkan sambil tersenyum, karena membesar yang kumaksud ialah gemuk badannya bukan karena hamil. Banyak yang bilang jika seorang perempuan yang telah menikah lalu gemuk, maka dia bahagia. Benarkah? Aku tidak percaya.

“Ketemu teteh Anti juga tadi”.
“Gimana kabarnya?"
“Sebulan yang lalu teteh Anti menikah”.
“Siapa suaminya?”.
“Ga kenal” kujawab sekenanya.
“Kamu nangis darah donk?” diikuti derai tawamu mengalir menyindirku.
“Ga lah. Aku hanya ingin dia tahu jika aku tidak menyesal sudah membuang waktuku 10 tahun untuk menunggu jawaban dia”
“Sudah jelas kan jawaban dia sekarang....” tanpa perasaan kau mengatakannya.
“Apa itu yang disebut cinta sejati?” tanyamu lagi.
“Bukan” tegas kujawab.
“Kasihan....”

Angin semilir menyapa membawa pergi kehampaan.

Takkan sirna oleh kerasnya waktu yang menyeret tak peduli tempat dan situasi. Berkali dihancurkan tanpa ampun, berkali pula tunas baru kan tumbuh. Bukankah kita terjatuh agar kita bisa belajar untuk bangkit kembali?.

“Maaf aku juga telah membuatmu menunggu selama 10 tahun”
“Tak ada yang perlu dimaafkan” jawabmu menenangkanku.
Tak bisa lagi ku menatap paras wajahmu yang bersih, yang pernah dan akan selalu mengisi hatiku.

“Kamu ga marah? Cemburu mungkin?” kucoba meyakinkan.
“Pernah semuanya. Tapi waktu itu kamu pergi karena terlalu menilai tinggi diriku. Kamu merasa kamu takkan sanggup untuk menggapaiku kan?”
Hanya senyum yang sanggup kulakukan atas jawaban penuh pengertian darimu.

“Aku tadi main ke rumah Fitri” kulanjutkan.
“Kamu sudah bertemu putriku?” semangat kali ini kau bertanya.
“Putrimu tumbuh dengan cantik dan sehat”.
“Putriku kan baru 3thn, masa sudah kau bilang cantik?”
“Semua perempuan cantik kan, memang ada perempuan yang ganteng?” candaku.
“Huuu....” kau mencibir.
“Pipinya yang tembem, matanya, rambutnya pun mirip denganmu” pujiku setulusnya.
“Tentu saja, dia putriku” kurasa kau tersenyum mengatakannya.
“Kenapa kamu beri nama Elena?” ku bertanya.
“Bagus kan? Terfikir saja olehku. Lagipula dia kan putriku” kau beralasan.
“Tapi, setelah mengetahui kabarmu aku langsung bersumpah aku takkan pernah menikah” sungguh-sungguh aku mengatakannya.
Pecah tawamu mendengar ucapanku barusan.
“Jangan begitu. Kamu juga tahu kan jika itu bukan yang aku harapkan. Teruslah lanjutkan hidupmu. Pasti ada seorang perempuan diluar sana” kau menghiburku.
“Sebaik engkau?” ragu ku bertanya.
“Mungkin....” dan sudah tak kudengarkan lagi apa yang entah kau katakan.

Sang Raja Cahaya pun telah beranjak merangkak ke peraduan. Sungguh terasa berat setiap ayunan langkahku meninggalkan pemakaman.



Cidadap 11 Nov 2013
Mengenang Nur Hasanah