Cimerak,
11 November 2013
Cerita
Cinta
“Nur
Hasanah” wali kelasku
memanggil namaku. Aku dan
ibuku segera menghampirinya.
“Lebih
rajin lagi belajarnya
ya”.
Ibu
Ani, wali kelasku berkata sembari menyerahkan buku rapotku
kepada ibuku. Ibu Ani
kemudian memberi senyuman ke arahku.
“Terima
kasih bu” ibuku
menjawab.
Kami berjalan meninggalkan ruang kelasku menuju arah gerbang sekolah. Banyak anak-anak murid disertai orang tua mereka hari ini. Tak sedikit pula yang membawa anak-anak kecil, mungkin adik si murid. Riuh ramai sekolahku hari ini. Hari ini rapot kelasku, kelas 1 cawu pertama, dibagikan juga.
Aku
dengar dari salah
satu guruku bahwa
tahun depan ada
kemungkinan sistem cawu akan dihapus dan diganti
dengan sistem semester.
Untuk alasan memperbanyak
waktu belajar yang aktif,
yang berarti waktu liburan kami murid-murid
juga akan berkurang.
Dilihat pun akan
segera ketahuan bahwa banyak
murid-murid yang tidak setuju jika tidak
mau dibilang menolak terhadap sistem ini. Alasannya
tentu waktu liburan
yang jadi berkurang
secara drastis tadi. Wajar
saja, kami kan masih
anak-anak. Masih ingin banyak bermain daripada belajar tentunya.
Apapun
itu tentunya sistem semester
ini akan diterapkan
juga akhirnya. Kata guruku juga
tinggal bagaimana nanti kita
yang harus beradaptasi
dengan sistem baru
tersebut. Kadang terfikir
juga olehku apakah
mereka yang memutuskan
terhadap penggunaan sistem
ini sudah memikirkan
kami murid-murid yang
akan menanggung bebannya?
Entahlah. Lagipula aku masih
kelas 1,
untuk apa aku
memikirkannya.
Mulai besok
sekolahku, MTs Negeri 1 Cimerak, berarti
akan libur.
Kutinggalkan gerbang
sekolah bersama ibu.
Hari ini ibu
memilih untuk naik
ojek dari persimpangan
yang ada dipersimpangan jalan
dekat sekolahku. Keluargaku
sebenarnya mempunyai sebuah
sepeda motor juga,
tapi ibuku tidak
bisa mengendarainya, selain
ibuku juga yang
memang tak ingin
mengendarainya. Ibu beranggapan
perempuan yang mengendarai
sepeda motor tidak
pantas. Ibu memang
masih termasuk generasi
kolot di desaku.
Biasanya aku berjalan
pulang bersama teman-teman
sekelasku. Cukup jauh
sebenarnya jarak rumahku
ke sekolah. Tapi
banyak juga murid-murid
yang berasal dari
kampungku, jadi walau
tidak sekelas pun
masih banyak juga
yang aku kenal.
Sembari berjalan
pulang kami sering
membicarakan apa saja
yang tadi terjadi
di sekolah. Dari
hal yang sepele
seperti siapa yang
hari ini mendapat
hukuman karena tidak
mengerjakan pekerjaan rumah,
sampai hal-hal yang
tidak berguna lainnya.
Sembari berjalan melewati
jalan raya yang
hanya satu-satunya di
desa kami ini,
tidak terlalu ramai
juga jalan raya
ini karena memang
bukan jalur utama
pula.
Beberapa ratus
meter kemudian kami
berbelok ke arah
kiri di sebuah
persimpangan yang dekat
dengan sebuah rumah
temanku, dia yang
terdekat dari sekolah.
Kami berjalan melewati
sebuah jalan desa
yang membelah beberapa
petak sawah di
desa ini. Jalan
di desa ini
sudah beraspal, tapi
hanya aspal sekedarnya
saja, hanya sekedar
bisa dilalui manusia
saja kufikir.
Selepas melewati
sawah ini maka
akan menemukan sebuah
persimpangan lagi. Aku
mengambil yang ke
arah kanan. Dari persimpangan
ini kami masih
harus berjalan melewati
sebuah desa lain
sebelum benar-benar memasuki
desaku. Ada beberapa
teman kami yang
tinggal di desa
ini. Setelah berpisah
dengan beberapa teman
kami yang tinggal
di desa ini,
kami melanjutkan perjalanan pulang
kami.
Setelah beberapa
menit berjalan melanjutkan
perjalanan kami dan
juga melewati beberapa
petak sawah, akhirnya
sampai juga di
desaku. Aku yang
pertama memisahkan diri
dari rombongan teman-teman.
Tak terasa memang
perjalanan pulang sekolah
ini jika bersama
teman-teman. Tentu saja
esok kami masih
akan berangkat sekolah
bersama lagi.
“Rangking berapa?” kakek
langsung menyambutku.
“Rangking
1 lagi”
ibu yang menjawab.
“Pintar cucu
kakek” kakek tersenyum
kepadaku sembari mengusap
kepalaku yang tertutup kerudung.
Aku membalas senyumnya
sembari mencium tangannya.
Dari kelas 1
SD memang sudah
terlihat kepintaran yang
aku miliki, banyak
yang bilang jika
itu adalah warisan
dari nenekku yang
meninggal sesaat sebelum
aku lahir. Kata
mereka kepintaran nenekku
diwariskan kepadaku. Nenekku
sewaktu beliau hidup
merupakan perempuan terpandai
di desa kami.
Hanya nenekku perempuan
yang bisa membaca
dan menulis pada
waktu itu di
desa kami. Sekarang
aku yang mewarisi
kepintarannya tersebut, menurut
cerita beberapa orang
di desaku. Aku
percaya saja.
Selesai berganti
pakaian aku segera
ke warung milik
keluargaku. Ternyata ibu sudah
lebih dulu di
warung. Seperti biasa
aku membantu di
warung bersama ibu. Tiap hari
sepulang sekolah aku
membantu sebisaku di
warung, meskipun sebenarnya
aku lebih banyak
hanya melihat-lihat saja
kegiatan ibu melayani
orang-orang yang berbelanja
kebutuhan mereka diwarung
kami ini. Disebut
membantu pun hanya
sedikit saja sebenarnya.
“Nur” terdengar suara Fitri memanggilku.
“Rangking berapa?”
Fitri bertanya.
Kutunjukkan jari
telunjukku di depannya.
Wajahnya berbinar seolah
sudah tahu saja
sebelumnya.
“Main yuk....”
Kami bermain
dipekarangan rumahku. Fitri
sahabatku dari kecil,
rumah kami pun
berdekatan. Rumah Fitri
berada dibelakang rumahku.
Hanya kami berbeda
sekolah. Fitri di
SLTP Negeri 1
Cimerak.
Setelah lelah
bermain, kami berteduh
di bangku bambu
panjang di depan
rumah.
“Hei!” teriakan
Fitri mengejutkanku.
“Kenalan yuk
sama temanku” Fitri
mengajakku.
Rupanya seorang
temannya yang tadi
dipanggilnya dengan berteriak.
Temannya berdiri dipinggir
jalan menunggu kami.
Seorang pria.
Cidadap 11
November 2013
Mengenang Nur Hasanah