Wednesday, February 12, 2014

Ketika Cinta Bercerita

                                                                             Cimerak, 11 Nov 2013

Ketika Cinta Bercerita



“Nur Hasanah”

Jika kakek sudah menyebut namaku dengan lengkap seperti itu berarti beliau akan memulai memberikan wejangannya untukku. Itu juga berarti aku harus duduk diam dan sopan selama beliau memberikan petuah-petuahnya.

Sebenarnya petuah beliau selalu sama setiap kali. Selalu yang itu-itu lagi. Tidak bosan beliau membagi sedikit pengalaman hidupnya kepadaku. Diawal beliau akan selalu bercerita tentang masa kecilnya yang juga nakal, menurut beliau sendiri, bahkan pernah sampai berlarian dipematang sawah demi menghindari kejaran ayah beliau, jika beliau melakukan suatu kenakalan anak-anak seperti biasa. Dibagian ini sebenarnya aku selalu tertawa dalam hati membayangkan kakekku dimasa kecilnya yang sedang dikejar-kejar oleh ayahnya. Karena keluarga kami memang keras dalam hal didikan dalam keluarga. Aku sendiri masih merasakan kerasnya didikan dari beliau langsung, walau sedikit longgar juga. Mungkin karena beliau juga mengerti kerasnya didikan tersebut harus diiringi kasih sayang sebagai orang tua, dalam hal ini aku sebagai cucunya.

Saking hapalnya dengan cerita tentang kakek yang dikejar-kejar oleh ayahnya, aku sering menirukan beliau menceritakannya didepan ibu dan adikku. Hal itu selalu berhasil membuat kami tertawa senang, karena membayangkan kakek yang masih gagah diusia senjanya itu ternyata pernah punya pengalaman seperti itu. Tentu saja kami melakukannya hanya ketika kakek sedang tidak ada.

Ketika bayang pohon jambu air dipekarangan rumah kami sudah memanjang menyentuh sisi jalan aspal yang membelah desa ini, bahkan tanpa melihat jam dinding pun aku tahu jika sebentar lagi akan terdengar kumandang adzan ashar dari surau kecil didekat rumah kami. Itu berarti saatnya aku untuk bersiap ke surau juga.

Selesai dari surau aku mandi membersihkan diriku, setelah sebelumnya aku memandikan adikku terlebih dahulu. Dikamar, didepan cermin kupandangi wajah yang terdapat didalam cermin sana. Sebuah wajah yang sama, yang selama 20thn ini kugunakan. 20, umur yang menurut ukuran didesa kami ialah umur dimana seorang gadis sudah dianggap cukup matang untuk berumah tangga. Fitri sahabatku, seumur denganku juga, bahkan kini telah mempunyai seorang anak laki-laki yang telah berumur 3thn. Wajar saja, karena begitu lulus SLTP Fitri langsung dinikahkan oleh orangtuanya. Ia tidak sempat meneruskan pendidikannya lagi. Bagi kebanyakan perempuan didesa kami, tidak ada gunanya menempuh pendidikan tinggi sekalipun karena akan berakhir didapur juga. Aku cukup beruntung bisa menamatkan pendidikan di MAN Nurul Huda, sekolah terbaik di kecamatan ini.

Aku sedang membaca ketika terdengar suara seorang pria yang menghampiri ibuku dipekarangan rumah. Kuintip dari celah tirai jendela dari ruang tamu, terlihat ibu sedang bercengkerama dengannya. Sang pria hanya terlihat sesekali mengangguk saja dengan senyum menghias dibibirnya.

Akankah sang pria memaafkanku jika ia tahu aku sebenarnya masih menunggu seseorang jauh didalam hatiku, meski aku sekarang telah menjadi istrinya?


*                            *                           *                           *


“Laki sialan!”

Suara kakek terdengar sangat nyaring dari ruang tamu. Masih banyak lagi umpatan kakek yang begitu emosi diumbar dengan mulutnya yang sebenarnya sangat-sangat jarang berkata kasar. Beliau seperti itu setelah mengetahui perselingkuhan suamiku dengan gadis desa tetangga sebelah. Kudengar kabar jika si gadis baru saja pulang setelah bekerja sebagai TKW di negeri tetangga, dan juga secara penampilan menarik, genit manja menggoda.

Suamiku yang memang masih suka bermain-main saja bertemu dengannya dan langsung tertarik. Tentu saja kucing mana yang menolak bila diberi ikan segar, gratis pula?.

Selama ini aku selalu menunaikan segala kewajibanku sebagai seorang istri tanpa kurang suatu apapun. Bahkan beberapa teman priaku yang telah menikah banyak yang bilang jika ingin menyuruh istri mereka untuk belajar bagaimana menjadi istri kepadaku. Tentu saja kutolak dengan halus sanjungan mereka. Istri mereka juga bisa melakukan apa yang kulakukan kan?

Diusia kehamilanku yang telah menginjak bulan ke-7 ini, aku hanya bisa memasrahkan segalanya kepada-Mu Ya Allah. Apakah ini hukuman untukku karena aku masih saja menunggu orang lain didalam hatiku, meski aku telah menjadi istri dari suamiku yang sah? Duhai Rabb Yang Maha Pengasih, ampunkanlah hambamu yang lemah tak berdaya ini....


*                            *                           *                           *

          “Mana Elena?”

Tanpa menunggu jawabanku, Fitri langsung masuk ke dalam kamarku, meninggalkanku yang sedang membaca diteras belakang rumahku. Sesaat kemudian kususul ia ke dalam kamarku.

Dengan mengendong anaknya dipinggang kirinya, Fitri membelai halus putriku yang sedang tertidur pulas ditemani ibuku. Terlihat kekecewaan di raut wajah Fitri. Mungkin ia sebenarnya ingin mengajak putriku bermain sebentar seperti biasa.
         
         Kuayunkan sedikit ke arah pintu buku yang sedang kupegang untuk mengajak Fitri keluar. Setelah duduk bersisian di kursi panjang diruang tamu, Fitri mulai menanyakan keadaanku. Seperti biasa pula kami berbagi cerita bagaimana susah senangnya mempunyai belahan hati. Tak banyak yang kami bicarakan hari ini, hanya sedikit mengenang masa-masa sekolah kami dulu. Setiap hari kami melakukannya, selain memang kami sudah bersahabat sejak kecil, juga aku tahu Fitri hanya ingin menghiburku saja.

Fitri tahu bahwa saat aku melahirkan putriku, pria yang menjadi suamiku entah berada dimana. Hanya keluargaku dan Fitri saja yang menemaniku saat persalinan putriku.


*                            *                           *                           *


Dadaku sesak dari semenjak fajar menyingsing.

Semakin kuat saja tekanan firasat yang kudapatkan. Setelah selesai membersihkan pekarangan depan rumah, aku membersihkan diriku. Selesai berpakaian dan menata sedikit rambutku, aku menghampiri ibuku yang sedang bermain dengan putriku. Kupinta tangan kanannya, kucium 3x kemudian aku memohon maaf atas segala kesalahan yang pernah kulakukan. Beliau terheran-heran dengan sikapku, tapi belum sempat beliau bertanya aku segera ke sawah di samping surau. Sampai disawah kuhampiri kakek yang sedang berteduh disebuah gubuk yang berdiri di tegalan sawah yang cukup luas sekadar untuk berteduh. Ketika kulakukan hal yang sama seperti kepada ibuku, kakek juga terlihat bingung tapi tidak bertanya apapun.

Kulangkahkan kakiku kembali. Aku langsung masuk kedalam kamarku sesampainya dirumah. Sebenarnya aku ingin memeluk putriku saat aku berbaring diatas ranjang ini, tapi tak tega hatiku melihat raut wajah ibu yang senang bermain dengan cucunya. Aku juga masih ingin menunggu seseorang, pria yang kini masih kuukir namanya disudut hatiku. Tapi aku juga tahu bukanlah hak diriku untuk menentukan batas waktu yang telah ditentukan oleh-Nya.


Kuhayati setiap hembusan nafas yang aku tahu hanya tinggal beberapa saat tersisa ini....



Cidadap 11 Nov 2013
Mengenang Nur Hasanah

No comments:

Post a Comment