Cimerak, 11 Nov 2013
Ketika Cinta Bercerita
Ketika Cinta Bercerita
“Nur Hasanah”
Jika kakek sudah menyebut namaku dengan
lengkap seperti itu berarti beliau akan memulai memberikan wejangannya untukku.
Itu juga berarti aku harus duduk diam dan sopan selama beliau memberikan
petuah-petuahnya.
Sebenarnya petuah beliau selalu sama
setiap kali. Selalu yang itu-itu lagi. Tidak bosan beliau membagi sedikit
pengalaman hidupnya kepadaku. Diawal beliau akan selalu bercerita tentang masa
kecilnya yang juga nakal, menurut beliau sendiri, bahkan pernah sampai
berlarian dipematang sawah demi menghindari kejaran ayah beliau, jika beliau
melakukan suatu kenakalan anak-anak seperti biasa. Dibagian ini sebenarnya aku
selalu tertawa dalam hati membayangkan kakekku dimasa kecilnya yang sedang
dikejar-kejar oleh ayahnya. Karena keluarga kami memang keras dalam hal didikan
dalam keluarga. Aku sendiri masih merasakan kerasnya didikan dari beliau
langsung, walau sedikit longgar juga. Mungkin karena beliau juga mengerti
kerasnya didikan tersebut harus diiringi kasih sayang sebagai orang tua, dalam
hal ini aku sebagai cucunya.
Saking hapalnya dengan cerita tentang
kakek yang dikejar-kejar oleh ayahnya, aku sering menirukan beliau
menceritakannya didepan ibu dan adikku. Hal itu selalu berhasil membuat kami
tertawa senang, karena membayangkan kakek yang masih gagah diusia senjanya itu
ternyata pernah punya pengalaman seperti itu. Tentu saja kami melakukannya hanya
ketika kakek sedang tidak ada.
Ketika bayang pohon jambu air dipekarangan
rumah kami sudah memanjang menyentuh sisi jalan aspal yang membelah desa ini,
bahkan tanpa melihat jam dinding pun aku tahu jika sebentar lagi akan terdengar
kumandang adzan ashar dari surau kecil didekat rumah kami. Itu berarti saatnya
aku untuk bersiap ke surau juga.
Selesai dari surau aku mandi membersihkan
diriku, setelah sebelumnya aku memandikan adikku terlebih dahulu. Dikamar,
didepan cermin kupandangi wajah yang terdapat didalam cermin sana. Sebuah wajah
yang sama, yang selama 20thn ini kugunakan. 20, umur yang menurut ukuran didesa
kami ialah umur dimana seorang gadis sudah dianggap cukup matang untuk berumah
tangga. Fitri sahabatku, seumur denganku juga, bahkan kini telah mempunyai
seorang anak laki-laki yang telah berumur 3thn. Wajar saja, karena begitu lulus
SLTP Fitri langsung dinikahkan oleh orangtuanya. Ia tidak sempat meneruskan
pendidikannya lagi. Bagi kebanyakan perempuan didesa kami, tidak ada gunanya
menempuh pendidikan tinggi sekalipun karena akan berakhir didapur juga. Aku
cukup beruntung bisa menamatkan pendidikan di MAN Nurul Huda, sekolah terbaik
di kecamatan ini.
Aku sedang membaca ketika terdengar suara
seorang pria yang menghampiri ibuku dipekarangan rumah. Kuintip dari celah
tirai jendela dari ruang tamu, terlihat ibu sedang bercengkerama dengannya.
Sang pria hanya terlihat sesekali mengangguk saja dengan senyum menghias
dibibirnya.
Akankah sang pria memaafkanku jika ia tahu
aku sebenarnya masih menunggu seseorang jauh didalam hatiku, meski aku sekarang
telah menjadi istrinya?
* * * *
“Laki sialan!”
Suara kakek terdengar sangat nyaring dari
ruang tamu. Masih banyak lagi umpatan kakek yang begitu emosi diumbar dengan
mulutnya yang sebenarnya sangat-sangat jarang berkata kasar. Beliau seperti itu
setelah mengetahui perselingkuhan suamiku dengan gadis desa tetangga sebelah.
Kudengar kabar jika si gadis baru saja pulang setelah bekerja sebagai TKW di
negeri tetangga, dan juga secara penampilan menarik, genit manja menggoda.
Suamiku yang memang masih suka
bermain-main saja bertemu dengannya dan langsung tertarik. Tentu saja kucing
mana yang menolak bila diberi ikan segar, gratis pula?.
Selama ini aku selalu menunaikan segala
kewajibanku sebagai seorang istri tanpa kurang suatu apapun. Bahkan beberapa
teman priaku yang telah menikah banyak yang bilang jika ingin menyuruh istri
mereka untuk belajar bagaimana menjadi istri kepadaku. Tentu saja kutolak
dengan halus sanjungan mereka. Istri mereka juga bisa melakukan apa yang
kulakukan kan?
Diusia kehamilanku yang telah menginjak
bulan ke-7 ini, aku hanya bisa memasrahkan segalanya kepada-Mu Ya Allah. Apakah
ini hukuman untukku karena aku masih saja menunggu orang lain didalam hatiku,
meski aku telah menjadi istri dari suamiku yang sah? Duhai Rabb Yang Maha
Pengasih, ampunkanlah hambamu yang lemah tak berdaya ini....
* * * *
“Mana Elena?”
Tanpa
menunggu jawabanku, Fitri langsung masuk ke dalam kamarku, meninggalkanku yang
sedang membaca diteras belakang rumahku. Sesaat kemudian kususul ia ke dalam
kamarku.
Dengan
mengendong anaknya dipinggang kirinya, Fitri membelai halus putriku yang sedang
tertidur pulas ditemani ibuku. Terlihat kekecewaan di raut wajah Fitri. Mungkin
ia sebenarnya ingin mengajak putriku bermain sebentar seperti biasa.
Kuayunkan sedikit ke arah pintu buku yang sedang kupegang
untuk mengajak Fitri keluar. Setelah duduk bersisian di kursi panjang diruang
tamu, Fitri mulai menanyakan keadaanku. Seperti biasa pula kami berbagi cerita
bagaimana susah senangnya mempunyai belahan hati. Tak banyak yang kami
bicarakan hari ini, hanya sedikit mengenang masa-masa sekolah kami dulu. Setiap
hari kami melakukannya, selain memang kami sudah bersahabat sejak kecil, juga
aku tahu Fitri hanya ingin menghiburku saja.
Fitri tahu bahwa saat aku melahirkan putriku, pria yang menjadi suamiku entah berada
dimana. Hanya keluargaku dan Fitri saja yang menemaniku saat persalinan
putriku.
* * * *
Dadaku
sesak dari semenjak fajar menyingsing.
Semakin
kuat saja tekanan firasat yang kudapatkan. Setelah selesai membersihkan
pekarangan depan rumah, aku membersihkan diriku. Selesai berpakaian dan menata
sedikit rambutku, aku menghampiri ibuku yang sedang bermain dengan putriku.
Kupinta tangan kanannya, kucium 3x kemudian aku memohon maaf atas segala kesalahan
yang pernah kulakukan. Beliau terheran-heran dengan sikapku, tapi belum sempat beliau
bertanya aku segera ke sawah di samping surau. Sampai disawah kuhampiri kakek
yang sedang berteduh disebuah gubuk yang berdiri di tegalan sawah yang cukup
luas sekadar untuk berteduh. Ketika kulakukan hal yang sama seperti kepada
ibuku, kakek juga terlihat bingung tapi tidak bertanya apapun.
Kulangkahkan kakiku kembali. Aku langsung masuk kedalam kamarku sesampainya dirumah. Sebenarnya
aku ingin memeluk putriku saat aku berbaring diatas ranjang ini, tapi tak tega
hatiku melihat raut wajah ibu yang senang bermain dengan cucunya. Aku juga
masih ingin menunggu seseorang, pria yang kini masih kuukir namanya disudut
hatiku. Tapi aku juga tahu bukanlah hak diriku untuk menentukan batas waktu
yang telah ditentukan oleh-Nya.
Kuhayati
setiap hembusan nafas yang aku tahu hanya tinggal beberapa saat tersisa ini....
Cidadap 11 Nov 2013
Mengenang Nur Hasanah
No comments:
Post a Comment