Cimerak,
11 Nov 2013
Cerpen
Kita
SLTP
NEGERI 1 CIMERAK. Tulisan itu masih sama seperti 10 tahun lalu. Tampak sebuah
langgar sederhana berdiri kokoh dihalaman depan sekolah ini, seakan menyambut kedatangan
setiap murid. Taman disamping ruangan kelas 2-ku yang lama sekarang telah
berubah menjadi tempat parkir. Wajar saja, karena murid-murid di SLTP NEGERI 1
CIMERAK banyak yang berasal dari desa-desa tetangga. Teman-teman seangkatanku
bahkan ada yang harus berjalan beberapa km, melewati 2-3 desa, dengan jalanan
tanah bercampur batu-batu seadanya. Maka jika sedang musim hujan, tak heran
banyak yang tidak hadir dikelas, karena kondisi jalanan yang berubah menjadi
kubangan.
Aku?
Aku cukup beruntung karena rumah tempat tinggalku sewaktu menuntut ilmu disini
hanya berjarak sepelemparan batu saja jauhnya. Rumah salah satu pamanku yang
menjadi tempat tinggalku waktu itu. Sebuah rumah berdinding bambu yang berdiri
dipinggir jalan. Dengan pemandangan hamparan sawah yang mengelilingi dari
depan hingga belakang rumah pamanku.
Tak
banyak yang berubah di desa ini. Hanya ada sebuah bangunan baru tepat didepan
gerbang sekolah, sebuah toko yang menjual keperluan murid-murid saja. Pertigaan
dekat sekolah pun masih tetap sama. Hanya ada sebuah toko dipojokannya, dengan
sebuah pos ronda yang sekaligus menjadi tempat tukang ojek bernaung dikala
panas hujan datang tak peduli waktu.
“Siapa
yang peduli?” tanyamu ringan tak peduli apa jawabannya.
Siapa
yang peduli? Entahlah....
“Tadi
ketemu teteh Iah” mulai kubuka percakapan.
“Teteh
Iah kakak kelasku?” kau bertanya.
Aku
mengangguk.
“Sekarang
dia sudah menjadi pengajar di PAUD. Dia menikah dengan kakak temanku. Sekarang
badannya membesar” sepasang tangan kurentangkan sambil tersenyum, karena
membesar yang kumaksud ialah gemuk badannya bukan karena hamil. Banyak yang
bilang jika seorang perempuan yang telah menikah lalu gemuk, maka dia bahagia.
Benarkah? Aku tidak percaya.
“Ketemu
teteh Anti juga tadi”.
“Gimana kabarnya?"
“Sebulan
yang lalu teteh Anti menikah”.
“Siapa
suaminya?”.
“Ga
kenal” kujawab sekenanya.
“Kamu
nangis darah donk?” diikuti derai tawamu mengalir menyindirku.
“Ga
lah. Aku hanya ingin dia tahu jika aku tidak menyesal sudah membuang waktuku 10
tahun untuk menunggu jawaban dia”
“Sudah
jelas kan jawaban dia sekarang....” tanpa perasaan kau mengatakannya.
“Apa
itu yang disebut cinta sejati?” tanyamu lagi.
“Bukan”
tegas kujawab.
“Kasihan....”
Angin
semilir menyapa membawa pergi kehampaan.
Takkan
sirna oleh kerasnya waktu yang menyeret tak peduli tempat dan situasi. Berkali
dihancurkan tanpa ampun, berkali pula tunas baru kan tumbuh. Bukankah kita
terjatuh agar kita bisa belajar untuk bangkit kembali?.
“Maaf
aku juga telah membuatmu menunggu selama 10 tahun”
“Tak
ada yang perlu dimaafkan” jawabmu menenangkanku.
Tak
bisa lagi ku menatap paras wajahmu yang bersih, yang pernah dan akan selalu
mengisi hatiku.
“Kamu
ga marah? Cemburu mungkin?” kucoba meyakinkan.
“Pernah
semuanya. Tapi waktu itu kamu pergi karena terlalu menilai tinggi diriku. Kamu
merasa kamu takkan sanggup untuk menggapaiku kan?”
Hanya
senyum yang sanggup kulakukan atas jawaban penuh pengertian darimu.
“Aku
tadi main ke rumah Fitri” kulanjutkan.
“Kamu
sudah bertemu putriku?” semangat kali ini kau bertanya.
“Putrimu
tumbuh dengan cantik dan sehat”.
“Putriku
kan baru 3thn, masa sudah kau bilang cantik?”
“Semua
perempuan cantik kan, memang ada perempuan yang ganteng?” candaku.
“Huuu....”
kau mencibir.
“Pipinya
yang tembem, matanya, rambutnya pun mirip denganmu” pujiku setulusnya.
“Tentu
saja, dia putriku” kurasa kau tersenyum mengatakannya.
“Kenapa
kamu beri nama Elena?” ku bertanya.
“Bagus
kan? Terfikir saja olehku. Lagipula dia kan putriku” kau beralasan.
“Tapi,
setelah mengetahui kabarmu aku langsung bersumpah aku takkan pernah menikah”
sungguh-sungguh aku mengatakannya.
Pecah
tawamu mendengar ucapanku barusan.
“Jangan
begitu. Kamu juga tahu kan jika itu bukan yang aku harapkan. Teruslah lanjutkan
hidupmu. Pasti ada seorang perempuan diluar sana” kau menghiburku.
“Sebaik
engkau?” ragu ku bertanya.
“Mungkin....”
dan sudah tak kudengarkan lagi apa yang entah kau katakan.
Sang
Raja Cahaya pun telah beranjak merangkak ke peraduan. Sungguh terasa berat
setiap ayunan langkahku meninggalkan pemakaman.
Cidadap
11 Nov 2013
Mengenang Nur Hasanah
Mengenang Nur Hasanah
No comments:
Post a Comment