Tuesday, February 11, 2014

Cerpen Kita

Cimerak, 11 Nov 2013


Cerpen Kita

SLTP NEGERI 1 CIMERAK. Tulisan itu masih sama seperti 10 tahun lalu. Tampak sebuah langgar sederhana berdiri kokoh dihalaman depan sekolah ini, seakan menyambut kedatangan setiap murid. Taman disamping ruangan kelas 2-ku yang lama sekarang telah berubah menjadi tempat parkir. Wajar saja, karena murid-murid di SLTP NEGERI 1 CIMERAK banyak yang berasal dari desa-desa tetangga. Teman-teman seangkatanku bahkan ada yang harus berjalan beberapa km, melewati 2-3 desa, dengan jalanan tanah bercampur batu-batu seadanya. Maka jika sedang musim hujan, tak heran banyak yang tidak hadir dikelas, karena kondisi jalanan yang berubah menjadi kubangan.

Aku? Aku cukup beruntung karena rumah tempat tinggalku sewaktu menuntut ilmu disini hanya berjarak sepelemparan batu saja jauhnya. Rumah salah satu pamanku yang menjadi tempat tinggalku waktu itu. Sebuah rumah berdinding bambu yang berdiri dipinggir jalan. Dengan pemandangan hamparan sawah yang mengelilingi dari depan hingga belakang rumah pamanku.

Tak banyak yang berubah di desa ini. Hanya ada sebuah bangunan baru tepat didepan gerbang sekolah, sebuah toko yang menjual keperluan murid-murid saja. Pertigaan dekat sekolah pun masih tetap sama. Hanya ada sebuah toko dipojokannya, dengan sebuah pos ronda yang sekaligus menjadi tempat tukang ojek bernaung dikala panas hujan datang tak peduli waktu.

“Siapa yang peduli?” tanyamu ringan tak peduli apa jawabannya.
Siapa yang peduli? Entahlah....
“Tadi ketemu teteh Iah” mulai kubuka percakapan.
“Teteh Iah kakak kelasku?” kau bertanya.
Aku mengangguk.
“Sekarang dia sudah menjadi pengajar di PAUD. Dia menikah dengan kakak temanku. Sekarang badannya membesar” sepasang tangan kurentangkan sambil tersenyum, karena membesar yang kumaksud ialah gemuk badannya bukan karena hamil. Banyak yang bilang jika seorang perempuan yang telah menikah lalu gemuk, maka dia bahagia. Benarkah? Aku tidak percaya.

“Ketemu teteh Anti juga tadi”.
“Gimana kabarnya?"
“Sebulan yang lalu teteh Anti menikah”.
“Siapa suaminya?”.
“Ga kenal” kujawab sekenanya.
“Kamu nangis darah donk?” diikuti derai tawamu mengalir menyindirku.
“Ga lah. Aku hanya ingin dia tahu jika aku tidak menyesal sudah membuang waktuku 10 tahun untuk menunggu jawaban dia”
“Sudah jelas kan jawaban dia sekarang....” tanpa perasaan kau mengatakannya.
“Apa itu yang disebut cinta sejati?” tanyamu lagi.
“Bukan” tegas kujawab.
“Kasihan....”

Angin semilir menyapa membawa pergi kehampaan.

Takkan sirna oleh kerasnya waktu yang menyeret tak peduli tempat dan situasi. Berkali dihancurkan tanpa ampun, berkali pula tunas baru kan tumbuh. Bukankah kita terjatuh agar kita bisa belajar untuk bangkit kembali?.

“Maaf aku juga telah membuatmu menunggu selama 10 tahun”
“Tak ada yang perlu dimaafkan” jawabmu menenangkanku.
Tak bisa lagi ku menatap paras wajahmu yang bersih, yang pernah dan akan selalu mengisi hatiku.

“Kamu ga marah? Cemburu mungkin?” kucoba meyakinkan.
“Pernah semuanya. Tapi waktu itu kamu pergi karena terlalu menilai tinggi diriku. Kamu merasa kamu takkan sanggup untuk menggapaiku kan?”
Hanya senyum yang sanggup kulakukan atas jawaban penuh pengertian darimu.

“Aku tadi main ke rumah Fitri” kulanjutkan.
“Kamu sudah bertemu putriku?” semangat kali ini kau bertanya.
“Putrimu tumbuh dengan cantik dan sehat”.
“Putriku kan baru 3thn, masa sudah kau bilang cantik?”
“Semua perempuan cantik kan, memang ada perempuan yang ganteng?” candaku.
“Huuu....” kau mencibir.
“Pipinya yang tembem, matanya, rambutnya pun mirip denganmu” pujiku setulusnya.
“Tentu saja, dia putriku” kurasa kau tersenyum mengatakannya.
“Kenapa kamu beri nama Elena?” ku bertanya.
“Bagus kan? Terfikir saja olehku. Lagipula dia kan putriku” kau beralasan.
“Tapi, setelah mengetahui kabarmu aku langsung bersumpah aku takkan pernah menikah” sungguh-sungguh aku mengatakannya.
Pecah tawamu mendengar ucapanku barusan.
“Jangan begitu. Kamu juga tahu kan jika itu bukan yang aku harapkan. Teruslah lanjutkan hidupmu. Pasti ada seorang perempuan diluar sana” kau menghiburku.
“Sebaik engkau?” ragu ku bertanya.
“Mungkin....” dan sudah tak kudengarkan lagi apa yang entah kau katakan.

Sang Raja Cahaya pun telah beranjak merangkak ke peraduan. Sungguh terasa berat setiap ayunan langkahku meninggalkan pemakaman.



Cidadap 11 Nov 2013
Mengenang Nur Hasanah

No comments:

Post a Comment