KEYAKINAN
“Ibu....”
putriku memanggil.
“Kapan
mau bayar buku-buku
pelajaran aku?” tanyanya.
“Besok
ya sayang. Tunggu
ayah gajian dulu.”
“Kapan
ayah gajian bu?”
“Hari
ini ayah gajian.
Besok baru bayar
buku pelajaran kamu.”
“Besok
bayarnya bu?”
“Insya
Allah....” jawabku menenangkannya. Kata-kata
yang juga ingin
kugunakan untuk menenangkan
diriku pula.
Setelah
beruluk salam putriku
pun berpamitan untuk
berangkat sekolah hari
ini.
Ya
Allah.... berikanlah aku
sedikit kekuatan dihatiku
untuk menjalani kehidupan
ini, dalam hati
lirih ku panjatkan
pintaku pada-Nya.
Setelah
selesai membersihkan rumah
mungil kami yang
tercinta ini, segera
aku membersihkan diriku
pula. Biasanya setelah
aku selesai bersih-bersih, aku
segera membuka warung
kecil milikku yang
terletak didepan rumah
kami. Warung yang
kubuka dengan modal
seadanya untuk sekedar
menemaniku menghabiskan waktu dirumah.
Hasil
dari warung pun
tak seberapa. Hanya
cukup sekedar untuk
membantu agar dapur
bisa ngebul saja
kata orang. Paling
tidak kami tidak
repot jika sewaktu-waktu
membutuhkan sekedar bumbu
dapur misalnya.
Suamiku
sendiri hanya seorang
buruh serabutan yang
sehari kerja sehari
dirumah. Tak tentu
pendapatannya pula. Aku
harus pintar-pintar dalam
mengatur berapapun yang
ia berikan untuk
keluarga kami. Sungguh
sangat jarang kami
bisa menyisihkan sedikit
dari apa yang
kami punya.
Tak
elok pula rasanya
bila aku menuntut
lebih kepada suamiku
dalam keadaan yang
seperti itu. Walau
sesungguhnya dalam hati
pernah pula terbesit
beberapa keinginan. Tapi itu
semua tak membuat
kami merasa terlalu
bersusah hati pula.
Memikirkan
semua itu membuatku
segera tersadar apa
yang ingin kulakukan
sekarang. Segera kuambil
air wudhu dan
menggelar sajadah di
kamarku. Segera kudirikan
sholat sunat sebanyak
2 rokaat. Bukan
sholat sunat Dhuha
yang kudirikan. Meski
banyak orang bilang
jika ingin kaya
maka perbanyaklah sholat
sunat Dhuha, termasuk
guru mengajiku dulu
sewaktu kecil. Bukan
tak ingin mendengar
nasihat orangtua pula
aku tak melakukan
seperti mereka, hanya
aku mempunyai pandangan
tersendiri pula tentang
hal ini. Kufikir
bila seseorang berniat
sholat sunat Dhuha
untuk menjadi kaya
silakan saja. Tapi
untukku aku hanya
berniat karena Allah
SWT saja. Bukankah
lafal Ar Rohman berarti
Allah SWT memberikan
1 bagian kenikmatan
untuk seluruh alam
semesta. Dan lafal
Ar Rohim berarti Allah
SWT akan memberikan
99 bagian kenikmatan
di akhirat nanti.
Mengingat itu semua
sedikit membuat hatiku
kembali sejuk.
Seperti
yang sekarang kulakukan.
Setelah selesai mendirikan
sholat sunat ingin
ku curahkan isi
hatiku setelah mengingat
kejadian tadi pagi
sewaktu putriku hendak
berangkat sekolah hari
ini.
Kupanjatkan pula
sekadar fikiranku terhadap-Nya.
Kupinta yang terbaik
dari-Nya. Kumohon pula
rasa kecukupan dihati
keluarga kami atas
segala pemberian dari-Nya.
Selesai
kucurahkan semua isi
hatiku pada-Nya, segera
kubereskan kembali sajadah
dan ruku yang
kugunakan. Kusimpan rapi
dalam lemari disudut
kamar kami yang
telah sedikit terkelupas
lapisan catnya dibeberapa
bagiannya.
Kutarik
nafas panjang dan
kuhembuskan perlahan. Kuucap
lafal basmalah sebelum
kulangkahkan ayunan kakiku
keluar kamar menuju
warungku.
Hingga
menjelang lepas tengah
hari hanya ada
beberapa yang berkunjung
ke warungku. Kucoba
untuk tak berburuk
sangka kepada Allah
SWT. Kufikir mungkin
nanti hari masih
lagi panjang pula.
“Assalamu’alaikum ibu....”
putriku beruluk salam.
“Wa’alaikum salam
warohmatullohi wabarokatuh” ku
jawab salam putriku.
“Ini
punya siapa bu?” putriku menyerahkan
sebuah amplop berwarna
coklat.
“Kamu
ambil darimana?” kuterima
amplop tersebut.
“Dari
bangku di depan
warung ibu.”
“Mungkin
punya orang yang
tadi belanja ketinggalan
disitu.” kuletakkan dalam
laci kemudian.
“Ganti
baju terus makan
siang” suruhku pada
putriku.
“Ga
usah sholat lohor
bu?” tanyanya sambil
tersenyum.
“Maaf
ibu lupa sayang....”
kuusap lembut kepalanya
yang tertutup kerudung
berwarna putih polos.
Hari
sudah beranjak petang
ketika kulihat suamiku
memasuki warung.
“Assalamu’alaikum....”
“Wa’alaikum salam
warohmatullohi wabarokatuh.” kubalas
salamnya.
“Cuma
dapet segini hari
ini” ucap suamiku
sembari mengulurkan tangan
kanannya. Kusambut uluran
tangannya. Tanpa melihat
terlebih dahulu segera
kuletakkan beberapa lembaran
tersebut diatas meja.
Segera kusediakan air
bening segelas kehadapannya.
Tak seperti kebanyakan
orang lain suamiku
tak suka minum
kopi atau teh.
Boleh dibilang minuman
kesukaannya hanya air
bening saja. Yang
sudah matang tentunya.
Diawal
pernikahan kami dulu
aku sempat beberapak
kali menyuguhkan secangkir
kopi atau teh
bila pagi hari
atau terkadang disohe
hari. Tapi seiring
waktu ia perlahan-lahan memberikanku
penjelasan tentang kebiaasannya
tersebut. Padahal seingatku
dulu sewaktu ia
beberapa kali datang
ke rumahku sebelum
kami menikah dulu
ia sempat beberapa
kali meminum kopi
yang disuguhkan oleh
ibuku.
Sewaktu
kutanya tentang hal
itu, ia menjawab
bila waktu itu ia hanya
sekedar menjaga perasaan
orangtuaku saja. Tak
lebih. Kufikir sedikit
diluar kebanyakan orang
lain yang tak
seperti ia. Tapi
tak jadi masalah
pula untukku.
Setelah
suamiku meminum habis
air digelas dan
sebentar melepas lelahnya
kemudian ia pamit
kedalam rumah untuk
membersihkan dirinya. Setelah
suamiku masuk kedalm
rumah barulah aku
menghitung lembaran yang
ia berikan tadi. Ya Allah....
rintihku dalam hati
setelah menghitungnya.
Haruskah
kuberitahukan tentang putri
kami yang menagih
uang pembayaran untuk
buku-buku pelajarannya tadi
pagi? Sungguh tak
sanggup rasanya bila
ku memberitahukannya. Tapi bila
aku diam saja
bagaimana nanti bila
putriku menanyakannya lagi?
Akan kujawab lusa
saja bayarnya? Atau
bilang saja bila
ayahnya belum gajian?
Malam
ini terasa sangat
panjang bagiku.
“Ibu
ada tamu diluar”
putriku memanggilku dikamar.
“Siapa?”
tanyaku.
“Ga
kenal”
“Kamu
sudah sarapan?” tanyaku
lagi melihat ia
sedang merapikan tali
sepatu sekolahnya.
“Aku
nyiapin sepatu dulu
bu” sahut putriku.
Kulirik
jam dinding baru
pukul 06.13. Siapa
gerangan sepagi ini
bertamu batinku. Kubuka
pintu dan terlihat
2 orang perempuan
muda yang berpakaian
rapi.
“Maaf
ibu kami mengganggu.
Kami mau tanya
apa kemarin ibu
menemukan sebuah amplop
berwarna coklat diwarung
ibu?” tanpa berbasa-basi
salah seorang dari
mereka langsung bertanya.
“Ya
ada” jawabku sambil
berusaha tersenyum walau
kurang suka dengan
kekurang sopanan mereka.
Kuambil
amplop tersebut dari
warung. Sebelum aku
memberikannya kepada mereka,
aku menanyakan dulu
apa saja isi
amplop tersebut. Setelah mereka menyebutkannya lalu
kubuka amplop tersebut
untuk memeriksanya. Setelah
kuyakin isinya memang
sesuai dengan keterangan
mereka baru kuserahkan
kepada mereka.
“Terimakasih dan
mohon diterima sekedar
dari kami ini
ibu” ucap salah
satu dari mereka
sambil menyodorkan sebuah
amplop putih polos.
“Membantu
tak perlu berpamrih”
aku menolak secara
halus.
“Maka
ibu juga harus
membiarkan kami untuk
berbuat kebaikan kepada
orang lain pula kan?”
sahutnya seakan membalikan
ucapanku.
“Kami
benar-benar berterima kasih
pada ibu” senyumnya
terasa polos tanpa
maksud apapun.
“Mohon
diterima” ia menyodorkan
amplop putihnya lebih
dekat ke tanganku.
Ragu
kuterimanya. Setelah amplop
putih berpindah ke
tanganku, mereka berpamitan
dan pergi dengan
menaiki sebuah mobil
yang terlihat cukup
mewah.
“Ibu....
jadi bayar buku
hari ini?” putriku
sudah berpakaian seragam
sekolah dengan rapi.
No comments:
Post a Comment