PERMATA HATI
“Aku sudah
menikah”
“Itu penjelasan
atau jawaban?” tanyanya
dengan cepat.
Tak pernah
kusangka akan bertemu
dengannya disini. Pagi
ini kuawali dengan
semangat seperti biasa.
Hari ini adalah
hari pertamaku bekerja.
Seminggu yang lalu
telah kudapatkan kepastian
untuk penempatan kerja
pertamaku. Dinas Pertanian
Jakarta, disini aku
ditempatkan.
Tak terbetik
sedikitpun keraguan dalam
hatiku menerima kesempatan
ini. Jauh memang
dari kampung halamanku,
ditambah lagi ini
adalah kali pertama
aku keluar dari
kampung halamanku. Keluar
kandang begitu orang
kampungku berkata.
Izin dari
suami yang baru
sebulan menikahiku pun
telah kudapatkan. Tentu
saja izinnya harus
kudapatkan dengan susah
payah. Alasanku yang
paling masuk akal
adalah bahwa suamiku
belum mendapat pekerjaan
tetap setelah ia
mendapat gelar sarjana
di depan namanya.
Ditambah lagi kondisi
keuangan keluargaku yang
ternyata kurang baik.
Ibulah yang memberitahuku
bahwa kondisi keuangan
keluarga kami kurang
baik setelah aku
selesai menempuh pendidikan
disuatu perguruan tinggi
didaerahku.
Yang kutahu
seluruh biaya pendidikan
terakhirku berasal dari
berbagai macam pinjaman.
Sungguh seandainya dulu
aku tahu, pastilah
aku akan menolak
untuk melanjutkan pendidikanku.
Atau setidaknya aku
bekerja sambilan sembari
kuliah agar tidak
terlalu membebani biaya
pendidikanku.
Jauh panggang
dari api. Tak
ingin aku berlarut
dalam penyesalan yang
panjang.
Tak lama
setelah selesai kuliahku
seorang teman seangkatan
datang melamarku. Sungguh
telah kucoba untuk
menolaknya. Dari cara
yang halus hingga
terang-terangan telah kutunjukkan
penolakanku. Berkat kegigihannya
dan nasihat orang
tua, kuterima juga
pinangannya setelah setahun
lamanya ia mendekatiku.
Tapi mungkin yang
paling benar ialah
karena aku tak
mau dianggap sebagai
anak durhaka, maka
kuturuti keinginan orang
tuaku.
Pernikahan kami
diadakan secara biasa
saja. Hanya teman
dan kerabat saja
yang hadir, ditambah
tetangga disekitar yang
ikut membantu. Dalam
hati sering kubertanya
benarkah ini? Tapi
segera kusingkirkan perasaan
itu mengingat ini
juga demi orang
tuaku.
Maka resmilah
aku menjadi istrinya.
Hari-hari pertama pernikahan
kami kulalui dengan
sedikit perasaan ragu.
Beda dengan suamiku
yang begitu semangat
dengan pernikahan ini.
Mungkin juga karena
suamiku mendapatiku yang
masih perawan. Entahlah.
Sampai akhirnya
seminggu yang lalu
kuterima kabar gembira
ini. Segera kusampaikan
kepada suamiku dan
keluargaku juga. Dan
sudah dapat ditebak
pula apa pendapat
mereka. Jangan! Itu
kata pertama yang
aku dengar. Kata-kata
selanjutnyapun masih kata-kata
yang melarangku juga
untuk bekerja.
Perempuan cukup
bekerja didapur saja,
suami pulang maka
istrilah yang menyambut,
masih banyak lagi
petuah mereka yang
kudapatkan setelah kutunjukkan
kabar gembira ini.
Dengan banyak kesabaran
ditambah sedikit pendekatan
yang tepat maka
bisa kuyakinkan mereka.
Tentu saja alasan
tentang kondisi keuanganpun
selalu kuajukan.
Dan disinilah
aku saat ini,
Dinas Pertanian Jakarta.
Tadi pagi kami
berkumpul di aula
depan, setelah dibagi
dalam beberapa kelompok
kami mendapat seorang
ketua tim masing-masing
kelompok. Kelompokku langsung
mendapat perintah untuk
menuju ke Pusat
Pengembangan Benih yang
berada didaerah Lebak
Bulus.
Karena ternyata
anggota kelompokku berasal
dari berbagai daerah
maka waktu dalam
perjalanan menuju Pusat
Pengembangan Benih Lebak
Bulus kami pergunakan
untuk saling berkenalan.
Sebelum berangkat, seorang
perempuan yang tadi
membagi-bagi kami dalam
beberapa kelompok telah
memberitahukan bahwa ketua
tim kelompokku telah
berangkat lebih dahulu
menuju PPB LB.
Tiba di
PPB LB kami
langsung menuju ruang
staff.
“Terima kasih
kalian telah hadir.
Langsung saja akan
saya perkenalkan ketua
tim kalian” seorang
perempuan yang kutaksir
sebaya usianya denganku
menyambut kami.
Pintu ruang
staff terbuka. Seorang
pria dengan perawakan
tubuh yang cukup
tinggi melangkah masuk.
Potongan rambutnya pendek
rapi selayaknya seorang
pegawai negeri pada
umumnya. Tak berkumis
tapi sedikit terlihat
deretan rapi janggut
dibawah dagunya dengan
bentuk rahang yang
sedikit membentuk persegi
disana.
Hampir saja
aku berteriak melihatnya.
Segera kutahan suaraku
agar tak keluar
dari tenggorokanku mengingat
dimana aku berada
sekarang.
Perasaanku sajakah
atau memang dia
berjalan menghampiriku? Tak
perlu waktu lama
untuk tahu jawabannya
ketika kini ia
berada dua langkah
dihadapanku dan menatap
mataku dengan tajam.
“Apa jawaban
kak Aryanti?” pertanyaan
itu jelas untukku.
“Jawaban apa?”
setengah mati aku
keluarkan suaraku untuk
balik bertanya.
“Perlu aku
ulang pertanyaanku?” kembali
ia bertanya. Entah
apa yang membuatku
menganggukkan kepalaku.
“Aku cinta
kak Aryanti. Maukah
kakak jadi kekasihku?”
dengan yakin ia
mengatakannya didepan seluruh
orang-orang yang ada
diruang staff.
Segera aku
terlempar ke masa
13 tahun lalu
setelah mendengar pertanyaan
sang pria. Masa
dimana aku masih
kelas tiga sltp dan sang
pria kelas dua
sltp. Kami bersekolah
disekolah yang sama,
SLTP NEGERI 1
CIMERAK. Terasa seperti
masih kemarin saja
sewaktu kuingat ia
begitu seringnya mendekatiku.
Awalnya teman-teman sekelasku
tak ada yang
tahu. Yang tak
kutahu ialah bahwa
ternyata meski ia
adik kelasku tapi
ia banyak kenal
dengan teman-teman sekelasku.
Maka mulailah
ia bergerilya bertanya-tanya tentang
diriku. Perlahan teman-temanku
pun mulai sadar
jika ia sebenarnya
menyukaiku. Pernah ketika
ia mendapat tugas
piket murid untuk
mengambil daftar absen
murid kelasku, seluruh
kelasku bersorak karena
mengetahui apa yang
terjadi, sungguh malu
kurasa waktu itu.
Begitupun waktu
kelasnya mendapat giliran
untuk bertugas dalam
upacara bendera. Selalu
aku yang disuruh
untuk mengawasi latihannya.
Seingatku waktu itu
masih ada Nina
atau Farid ketua
osis kami, biasanya
mereka berdualah yang
bertugas mengawasi. Tapi
setelah terdengar cerita
bahwa ada seorang
adik kelas yang
sedang pdkt terhadapku,
maka akulah yang
diberi tugas mengawasi
setiap kelas dia
yang mendapat giliran
bertugas upacara.
Dan saat
itupun tiba. Suatu
hari sepulang sekolah
saat kuberjalan dijalan
setapak menuju rumahku
terdengar seseorang memanggil
namaku.
Kuhentikan langkahku
dan kubalikkan badanku.
Terlihat ia berlari
menghampiriku. Setelah dekat
ia menghentikan langkahnya.
Dengan nafas yang
masih terengah-engah ia
tetap memberikan senyuman
untukku.
“Ada apa?”
tanyaku.
“Aku cinta
kak Aryanti. Maukah
kakak menjadi kekasihku?”
tak ada keraguan
disana. Meskipun aku
sudah tahu hari
ini pasti tiba
juga, tapi tetap
saja aku terkejut.
Kutatap lagi matanya
dan tetap keyakinan
yang kutemukan dalam
sorot matanya. Kuhela
nafas sejenak.
“Tunggu setelah
selesai ujian kelulusan.
Nanti aku jawab
setelah ujian kelulusan”
hanya itu rangkaian
kalimat terbaik yang
bisa kudapatkan. Alasan
yang tepat kurasa,
karena memang tinggal
beberapa hari lagi
menjelang kelulusan.
“Baiklah. Janji
ya kak” jawabnya
setelah mendengar kalimatku.
Kali ini
tak kujawab tapi
hanya kuberikan senyuman
saja untuknya. Segera
kubalikkan badan meninggalkannya.
Sebenarnya itulah
kali pertama seorang
pria menyatakan cintanya
padaku. Dalam perjalanan
pulang senyum tak
lepas dari bibirku.
Hatiku berbunga-bunga ketika
tadi ia bilang
menyintaiku, tapi aku
masih tinggi hati
untuk langsung menerimanya.
Jadilah kucari alasan
yang masuk akal.
Hari-hari menjelang
ujian aku tak
pernah melihatnya. Sewaktu
ujian kelulusan kelas
3 memang kelas
1&2 diliburkan jadilah
aku tak melihatnya
lagi.
Ujian pun
selesai. Dan aku
tetap tak melihatnya
padahal masih beberapa
hari sesudahnya kelas 1&2 bersekolah
kembali. Hingga hari
pengambilan ijasahku pun
aku tetap tak
bertemu dengannya. Apakah
ia lupa? Mungkin
ia sedang menungguku?
Kubuang kemungkinan ia
menungguku karena aku
malu untuk mendatanginya, bukankah
seharusnya ia yang menghampiriku karena
aku perempuan?
Kulalui hari-hari
berikutnya dengan sibuk
mempersiapkan diriku untuk
masuk SPMAN Ciamis.
Hatiku tak tenang
memikirkannya. Setelah aku berhasil masuk
SPMAN Ciamis, kudengar
dari Nina bahwa
ia masih bertanya
tentangku. Kubilang pada
Nina untuk tak
mengatakan apapun padanya.
Dan hari-hari pun
berlalu begitu saja
hingga hari ini
kami bertemu kembali.
“Aku sudah
menikah”
“Itu penjelasan
atau jawaban?” tanyanya
dengan cepat.
“Aku sudah
menikah” makin lemah
suaraku menjawab.
Hening dan
dingin kurasakan hawa
diruangan ini. Lama
waktu berjalan kurasakan
saat ini.
“Baiklah. Dan
biar semua yang
disini menjadi saksi
untuk perkataanku selanjutnya”
berkata lagi ia.
“Dengar semuanya.
Aku tak pernah
menyesal membuang waktuku
13 tahun hanya
untuk mendengar jawaban
kak Aryanti. Aku
hanya ingin kak
Aryanti tahu itu
saja.” lanjutnya.
“Ketua tim
kuserahkan kepadamu” ia
menunjuk perempuan yang
tadi menyambut kelompok
kami.
“Kamu mau
kemana?” tanya sang
perempuan.
Ia tak
menjawab. Kali ini
akulah yang melihatnya
berjalan pergi.
No comments:
Post a Comment